Minggu, 02 Februari 2014

Tempat Wisata Jadi Arena PKL



Pemandangan Arak-Arak Bondowoso, begitu indah. Sayang, keindahan alam itu “ternoda.” Di wisata alam itu, bahkan sejumlah fasilitasnya berubah fungsi jadi tempat pedagang kaki lima (PKL). Seperti apa?

-----------------------------
SEJUKNYA udara ketika memasuki wilayah Bondowoso, tak bisa dielakkan lagi. Apalagi, bila kita masuk dari bagian barat via Kecamatan Besuki, Kabupaten Situbondo. Ketika menapaki pegunungan –menurut referensi ini bagian dari Pegunungan Iyang- embusan angin pegungan akan menyambut kita.
 Di musim hujan seperti saat ini, sejuknya udara itu akan makin terasa. Bagi yang tak terbiasa, tak ada salahnya untuk menyiapkan jaket. Itu, bila khawatir kulitnya tertusuk dinginnya pegunungan Arak-Arak. Sepanjang jalan menuju Kota Tape ini, Anda akan mendapat sajian hijaunya pegunungan dan pertanian. Seakan, sejauh mata memandang, seakan sejauh itu pula mata akan dimanjakan dengan sejuknya kekayaan alam.
Salah satu tempat wisata di jalur Bondowoso-Surabaya ini, terdapat salah satu wisata alam yang dipelihara oleh Pemkab Bondowoso. Tepatnya, di Desa Sumber Canting, Kecamatan Wringin. Pemandangan alam ini, berada di ketinggian sekira 345m  di atasa permukaan laut. Di sana, wisatawan dapat menikmati udara segar dan dapat melihat panorama  alam yang mempesona.
Aksesnya pun cukup mudah, wisatawan dapat mengunjungi tempat ini dengan menggunakan transportasi umum. Atau, bagi Anda yang lebih suka naik sepeda motor, jalurnya cukup baik. Lokasi ini berada tepat di pinggir jalan raya Bondowoso-Surabaya.
Bulan lalu, penulis sempat mengunjungi tempat wisata yang mengandalkan keindahan alamnya ini. Saat itu, jarum jam baru menunjukkan pukul 08.00 WIB. Sejumlah wisatawan tampak menikmati beberapa fasilitasnya. Sejumlah pedagang mulai membuka warungnya. Begitu juga para PKL juga mulai membuka dan menjajakan dagangannya. Tapi, jangann pikir Anda akan menemukan kios-kios apik di sana. Warungnya, hanya terbuat dari gedek, itu pun mulai kurang terurus.
Penulis pun meneruskan langkah menuju loket, meski di sana tak terlihat ada orangnya. Ruangan berukuran sekira 2 meter persegi itu, juga terlihat kumuh. Bukan hanya catnya yang mulai memudar, tapi kotor bekar coretan juga menghiasi dindingnya. Kaca loket yang sengaja dilubangi untuk keluar masuk karcis dan duit, ditutup kardus seadanya.
“Tidak perlu bayar, masuknya gratis. Langsung saja masuk,” ujar seorang nenek yang kala itu menyapu tempat jualannya di sekitar lokasi wisata itu. “Itu bukan loket, tapi tempat menyimpan barang,” lanjutnya.
Mendapati pernyataan itu, penulis juga sempat heran. Sebab, jelas-jelas bangunan yang atapnya berbentuk piramida itu tempat loket. Tapi, atas saran sang nenek, penulis pun masuk tanpa tiket dan memilih tempat duduk tak jauh dari gedung loket.
Setengah tak percaya, dan mungkin Anda juga tak akan percaya, tak lama setelah penulis duduk, dari ruang loket itu muncuk seorang lelaki membawa kardus. Lelaki berusia sekira 40-an tahun itu menuju salah satu gazebo di area wisata. Tak lama kemdian, ia kembali ke loket dan kembali lagi ke gazebo juga dengan membawa kardus. Tapi, kardus kedua lebih besar. Begitu seterusnya, ada sekitar lima kali bapak itu bolak-balik gazebo-loket dengan membawa kardus berbeda.
Usai mengangkut lima kaedus, pria itu mulai membongkar isinya. Hem, ternyata yang dikeluarkan berbagai makanan ringan. Dari jenis kacang, kentang goreng, dan lain-lain. Tapi, semua produksi pabrikan. Di bantu seorang perempuan, lalaki itu menggantungkan makanan-makanan ringan itu di plafon gazebo. Belum selesai, si pria memilih menata meja yang sebelumnya disimpan di sisi kiri gazebo. Eh, tak hanya meja, ada juga bangku panjang terbuat dari bambu. Kedua benda itu, kemudian ditata di sisi kiri dan depan gazebo.
Hem, dalam waktu sekejab gazebo yang dibangun dengan duit rakyat itu, berubah jadi warung. Ya, karena setelah itu banyak pengunjung yang datang ke sana memesan kopi. “Le, ada orang pesan kopi. Itu, sudah duduk,” ujar si nenek tapi kepada pria yang sudah dikenalnya itu.
 Cukupkah seperti itu perubahan wajah tempat wisata alam ini? Tidak. Selain menyulap gazebo jadi warung, ada pedagang lain yang menyulap fasilitas lainnya jadi lapak dagangan. Ya, si nenek tadi. Dia berjualan camelan juga, bahkan buah-buahan. Bedanya, dagangannya itu tak sampai digantung diplafon. Maklum, nenek itu sudah tua, tidak bisa naik meja. Hehehe...
“Ayo, nak. Saya mau ngampung rezekinya. Saya tidak ada yang mau mencarikan uang. Makanya, saya jualan ini. Ayo, tolong beli pisang ini. Uangnya untuk membeli beras, untuk saya makan,” ujar nenek itu menawarkan pisangnya kepada penulis. “Ini tidak busuk, cuma terlalu matang, sehingga kulitnya hitam,” lanjutnya, ketika menawakan jenis pisang susu yang dibawanya.
Melihat aktivitas para pedagang yang masuk, bahkan “mengubah” fasilitas wisata menjadi tempat berjualan, tak terlihat garis kekhawatiran di wajah mereka terjaring razia. Seakan, mereka benar-benar terbiasa dengan aktivitasnya itu. “Sudah biasa. Dari dulu sudah begitu, tidak ada yang melarang,” ujar si nenek ketika ditanya apa tidak ada yang melarang “menjadikan” fasilitas wisata itu jadi warung.
Kata si nenek, dulu, tempat berjualannya itu, eh tempat wisata itu juga dilengkapi dengan berbagai macam satwa. Tapi, kini sudah tidak ada lagi. Entah, kemana. Nenek itu pun tak bisa memastikan apakah satwa itu mati, dipindah ke tempat lain, atau malah ada yang mencuri. “Saya tidak tahu juga, tahu-tahu tidak ada,” katanya.
Sayang, waktu itu tak ada petugas dari Pemkab Bondowoso, yang bisa dimintai keterangan soal semua itu. Menurut penulis, para pedagang itu akan lebih baik bila ditata di luar tempat wisata. Dan, tak sampai mengalihfungsikan fasilitas wisata demi kepentingan pribadi. (ind) 

1 komentar:

wah sip ini tuk di ketahu tempat wisata di bondowoso

Posting Komentar