Pemandangan Arak-Arak Bondowoso, begitu indah. Sayang, keindahan alam itu “ternoda.” Di wisata alam itu, bahkan sejumlah fasilitasnya berubah fungsi jadi tempat pedagang kaki lima (PKL). Seperti apa?
SEJUKNYA udara ketika memasuki wilayah
Bondowoso, tak bisa dielakkan lagi. Apalagi, bila kita masuk dari bagian barat
via Kecamatan Besuki, Kabupaten Situbondo. Ketika menapaki pegunungan –menurut referensi ini bagian dari
Pegunungan Iyang- embusan angin pegungan akan menyambut kita.
Di musim hujan seperti saat ini, sejuknya
udara itu akan makin terasa. Bagi yang tak terbiasa, tak ada salahnya untuk
menyiapkan jaket. Itu, bila khawatir kulitnya tertusuk dinginnya pegunungan
Arak-Arak. Sepanjang jalan menuju Kota Tape ini, Anda akan mendapat sajian
hijaunya pegunungan dan pertanian. Seakan, sejauh mata memandang, seakan sejauh
itu pula mata akan dimanjakan dengan sejuknya kekayaan alam.
Salah satu tempat wisata di jalur
Bondowoso-Surabaya ini, terdapat salah satu wisata alam yang dipelihara oleh
Pemkab Bondowoso. Tepatnya, di Desa Sumber Canting, Kecamatan Wringin. Pemandangan alam ini,
berada di ketinggian sekira 345m di
atasa permukaan laut. Di sana, wisatawan dapat menikmati udara segar dan dapat
melihat panorama alam yang mempesona.
Aksesnya pun
cukup mudah, wisatawan dapat mengunjungi tempat ini dengan menggunakan
transportasi umum. Atau, bagi Anda yang lebih suka naik sepeda motor, jalurnya
cukup baik. Lokasi ini berada tepat di pinggir jalan raya Bondowoso-Surabaya.
Bulan lalu,
penulis sempat mengunjungi tempat wisata yang mengandalkan keindahan alamnya
ini. Saat itu, jarum jam baru menunjukkan pukul 08.00 WIB. Sejumlah wisatawan
tampak menikmati beberapa fasilitasnya. Sejumlah pedagang mulai membuka
warungnya. Begitu juga para PKL juga mulai membuka dan menjajakan dagangannya.
Tapi, jangann pikir Anda akan menemukan kios-kios apik di sana.
Warungnya, hanya terbuat dari gedek, itu pun mulai kurang terurus.
Penulis pun
meneruskan langkah menuju loket, meski di sana tak terlihat ada orangnya.
Ruangan berukuran sekira 2 meter persegi itu, juga terlihat kumuh. Bukan hanya
catnya yang mulai memudar, tapi kotor bekar coretan juga menghiasi dindingnya.
Kaca loket yang sengaja dilubangi untuk keluar masuk karcis dan duit, ditutup
kardus seadanya.
“Tidak perlu
bayar, masuknya gratis. Langsung saja masuk,” ujar seorang nenek yang kala itu
menyapu tempat jualannya di sekitar lokasi wisata itu. “Itu bukan loket, tapi
tempat menyimpan barang,” lanjutnya.
Mendapati
pernyataan itu, penulis juga sempat heran. Sebab, jelas-jelas bangunan yang
atapnya berbentuk piramida itu tempat loket. Tapi, atas saran sang nenek,
penulis pun masuk tanpa tiket dan memilih tempat duduk tak jauh dari gedung
loket.
Setengah tak
percaya, dan mungkin Anda juga tak akan percaya, tak lama setelah penulis
duduk, dari ruang loket itu muncuk seorang lelaki membawa kardus. Lelaki
berusia sekira 40-an tahun itu menuju salah satu gazebo di area wisata. Tak
lama kemdian, ia kembali ke loket dan kembali lagi ke gazebo juga dengan
membawa kardus. Tapi, kardus kedua lebih besar. Begitu seterusnya, ada sekitar
lima kali bapak itu bolak-balik gazebo-loket dengan membawa kardus berbeda.
Usai
mengangkut lima kaedus, pria itu mulai membongkar isinya. Hem, ternyata yang
dikeluarkan berbagai makanan ringan. Dari jenis kacang, kentang goreng, dan
lain-lain. Tapi, semua produksi pabrikan. Di bantu seorang perempuan, lalaki
itu menggantungkan makanan-makanan ringan itu di plafon gazebo. Belum selesai,
si pria memilih menata meja yang sebelumnya disimpan di sisi kiri gazebo. Eh,
tak hanya meja, ada juga bangku panjang terbuat dari bambu. Kedua benda itu,
kemudian ditata di sisi kiri dan depan gazebo.
Hem, dalam
waktu sekejab gazebo yang dibangun dengan duit rakyat itu, berubah jadi warung.
Ya, karena setelah itu banyak pengunjung yang datang ke sana memesan kopi. “Le,
ada orang pesan kopi. Itu, sudah duduk,” ujar si nenek tapi kepada pria yang
sudah dikenalnya itu.
Cukupkah seperti itu perubahan wajah tempat
wisata alam ini? Tidak. Selain menyulap gazebo jadi warung, ada pedagang lain
yang menyulap fasilitas lainnya jadi lapak dagangan. Ya, si nenek tadi.
Dia berjualan camelan juga, bahkan buah-buahan. Bedanya, dagangannya itu tak
sampai digantung diplafon. Maklum, nenek itu sudah tua, tidak bisa naik meja.
Hehehe...
“Ayo, nak.
Saya mau ngampung rezekinya. Saya tidak ada yang mau mencarikan uang. Makanya,
saya jualan ini. Ayo, tolong beli pisang ini. Uangnya untuk membeli beras,
untuk saya makan,” ujar nenek itu menawarkan pisangnya kepada penulis. “Ini
tidak busuk, cuma terlalu matang, sehingga kulitnya hitam,” lanjutnya, ketika
menawakan jenis pisang susu yang dibawanya.
Melihat
aktivitas para pedagang yang masuk, bahkan “mengubah” fasilitas wisata menjadi
tempat berjualan, tak terlihat garis kekhawatiran di wajah mereka terjaring
razia. Seakan, mereka benar-benar terbiasa dengan aktivitasnya itu. “Sudah
biasa. Dari dulu sudah begitu, tidak ada yang melarang,” ujar si nenek ketika
ditanya apa tidak ada yang melarang “menjadikan” fasilitas wisata itu jadi
warung.
Kata si
nenek, dulu, tempat berjualannya itu, eh tempat wisata itu juga dilengkapi
dengan berbagai macam satwa. Tapi, kini sudah tidak ada lagi. Entah, kemana.
Nenek itu pun tak bisa memastikan apakah satwa itu mati, dipindah ke tempat
lain, atau malah ada yang mencuri. “Saya tidak tahu juga, tahu-tahu tidak ada,”
katanya.
Sayang,
waktu itu tak ada petugas dari Pemkab Bondowoso, yang bisa dimintai keterangan
soal semua itu. Menurut penulis, para pedagang itu akan lebih baik bila ditata
di luar tempat wisata. Dan, tak sampai mengalihfungsikan fasilitas wisata demi
kepentingan pribadi. (ind)
1 komentar:
wah sip ini tuk di ketahu tempat wisata di bondowoso
Posting Komentar