BELAKANGAN ini, seakan makin banyak celah dalam dunia politik untuk dimainkan. Salah satunya money politics yang mewarnai hampir setiap pesta demokrasi. Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) pun telah memetakan daerah-daerah rawan, sampai daerah sangat rawan terjadi politik uang pada Pemilu 2014.
Menurut
Bawaslu, sebagaimana dilansir Jawa Pos, Rabu
12 Maret 2014, ada 34 daerah atau kota/kabupaten yang tergolong sangat rawan terjadi money
politics. Kemudian
268 daerah rawan dan sisasanya 208 masuk kategori daerah aman. Indikatornya, tingkat
perekonomian warga. Bukan hasil temuan terjadinya money politics.
Mungkin akan lebih baik bila Bawaslu melalui Panwaslu dan Panwascam
menelusuri sejauh mana tingkat kerawanan terhadap politik uang di daerah
masing-masing. Atau, berdasarkan fakta di lapangan. Selain itu,
tingkat perekonomian tak bisa sepenuhnya dijadikan tolok ukur dalam menilai
sebuah kota/kabupaten sebagai ladang money politics.
Memang
sejauh ini banyak masyarakat masih enggan melaporkan adanya praktik melanggar
hukum. Tak hanya soal money politics
dalam pesta demokrasi, bentuk pelanggaran hukum lain kadang dianggap sepele. Alasannya,
klasik. Mereka tak mau ribet, tak mau mengurusi urusan orang lain. Sehingga,
harus tersita waktu, pikiran, dan sebagainya hanya untuk urusan orang.
Bahkan
banyak pula masyarakat yang sudah akrab dengan money politics. Atau memilih “bersahabat” dengan pelanggaran. Sehingga bila ada pesta demokrasi,
masyarakat menyiapkan diri untuk mendapatkan duit, barang, atau apa pun dari
yang berkepentingan. Artinya, adanya duit dan embel-embel “nyata” di balik
kampanye memang diharapkan sebagian masyarakat.
Dengan pola
seperti ini, muncullah politik berjuang di kalangan sebagian pemilih. Banyak
warga yang mau atau berkenan memilih bila calon -entah itu presiden atau kepala desa, calon anggota
dewan atau apa pun- mau berjuang. Berjuang dalam
hal ini bukan perjuangan sebagaimana digariskan peraturan. Golongan ini tak mau
repot mengartikan kata berjuang. Mereka cukup memperpanjangnya dengan beras,
baju, dan uang. Ketiga kebutuhan meliputi pangan, papan, dan sandang itu
kemudian disingkat dengan berjuang. Sehingga, kata berjuang menjadi lumrah
dalam setiap gelaran pesta demokrasi.
Selain
berjuang, ada istilah lain yang kerap digunakan. Yakni, tongket yang berasal dari bahasa Madura. Bila di-Indonesia-kan, tongket adalah tongkat. Dalam kamus
bahasa Indonesia, tongkat diartikan sebagai sepotong bambu (rotan, kayu, dsb) yang agak panjang (untuk menopang
atau pegangan ketika berjalan, menyokong, dsb). Tapi arti itu tak berlaku dalam
dunia politik “kerakyatan.”
Dalam
politik “kerakyatan” tongket tak ada
bedanya dengan berjuang. Hanya saja,
harganya bisa lebih murah. Karena tongket
hanya diartikan menjadi settong seket.
Kata ini juga berasal dari bahasa Madura yang artinya satu lima puluh. Istilah
ini juga sering dikemukakan sebagian pemilih untuk memberikan hak suaranya.
Tapi tarifnya berbeda. Ada yang mengartikan settong
seket menjadi satu suara, Rp 50 ribu, ada juga yang mengartikan settong seket jadi satu suara Rp 150
ribu. Pokoknya, arti dari settong seket
tak jauh dari satu dan lima puluh.
Namun, istilah ini mungkin hanya berkembang di
daerah-daerah yang warganya menggunakan bahasa Madura. Entah, kalau di daerah
lain mungkin ada istilah yang lebih keren. Seperti istilah serangan duha, serang
fajar, serangan subuh, ngebom, atau istilah-istilah lainnya.
Lalu,
bagaimana bila tidak ada yang mau berjuang
dan ngasih tongket. Di sini lah tantangan para penyelenggara pemilu
untuk menyadarkan para pemilih. Memang memilih adalah hak seseorang yang tak
bisa dipaksakan. Sehingga, memilih atau tidak, tak ada sanksi. Asal, yang
bersangkutan tak mengajak orang lain untuk ikut-ikutan masuk golongan putih
(golput).
Karenanya,
para pemilik hak yang masuk golongan berjuang
dan tongket seakan tahu betul celah
hukum pemilu. Yakni, tak ada sanksi bagi mereka yang tak mau memilih.
Karenanya, tak jarang dari mereka yang memilih golput dari pada harus datang ke
Tempat Pemungutan Suara (TPS) menyalurkan haknya.
Alasan
menjadi golput pun bermacam-macam. Dari yang mengaku lebih baik bekerja untuk mencari
nafkah anak-istrinya sampai yang memilih berlibur bersama keluarga. Ada juga
yang mengaku tak punya pilihan. Ada pula yang takut dosa bila memilih. Sebab
yang dipilih bila sudah jadi pejabat, malah korupsi. Bila benar pilihan kita
jadi koruptor, apa kita dosa? Nah,
ini bagiannya majelis ulama.
Dengan
kondisi di lapangan yang semacam ini, selama ini banyak cara yang telah
dilakukan para penyelenggara pemilu. Misalnya, ada TPS yang menyediakan doorprize bagi pemilih yang mau
memberikan hak suaranya. Tujuannya menarik minat pemilih untuk datang ke TPS.
Tapi,
sejatinya cara ini tak mendidik. Sebab, bila terbiasa mendapatkan doorprize, ini akan menjadi preseden
buruk demokrasi ke depan. Masyarakat akan makin manja untuk memberikan haknya.
Sehingga jumlah golput akan makin bertambah. Apalagi dalam dua kali pergelaran
pemilu legislatif, angka golput selalu jadi pemenang. Seperti diberitakan Jawa
Pos Rabu 12 Maret 2014, pada 2004 jumlah pemilih tidak mencoblos mencapai 23,34
persen. Begitu pula pada pemilu 2009 meningkat menjadi 39,1 persen.
Padahal,
pada 2004 pertai tertinggi memperoleh suara 21,58 persen dan pada 2009 partai
tertinggi memperoleh suara 20,85 persen. Nah, kini saatnya kita hentikan
“presiden” golput berkuasa. Sebab, sudah dua kali pemilu mereka berkuasa.
Undang-undang kan mengamanatkan
jabatan presiden hanya boleh dua periode. He…
(ind)
0 komentar:
Posting Komentar