Senin, 02 Maret 2015

Membuang Duit Rakyat lewat Perda

TEMUAN adanya penari erotis di JJ Royal Café and Resto Kota Probolinggo, Minggu (1/2) lalu, tak hanya mengungkap adanya pelanggaran izin di tempat hiburan yang dulunya bernama Marknauf Café tersebut. Tarian tak “senonoh” itu menjadi bola liar yang terus menggelinding. Mengungkap berbagai “keburukan” yang selama ini terbungkus rapi.

Seperti, tarian yang diduga melanggar undang-undang tentang Pornografi itu ternyata telah lama dan biasa disajikan kepada para pengunjung di JJ Royal (Jawa Pos Radar Bromo, 4 Februari 2015). Tapi, baru terungkap awal Februari lalu.
Selain mengungkap lambannya aparat dalam mengendus pelanggaran, kejadian itu juga seakan menegaskan betapa pengawasan dari pemkot begitu lemah. Termasuk, upaya pemkot melindungi warganya dari praktik haram. Terbukti, meski sebelumnya pemkot menyatakan ada pelanggaran izin dan akan memutuskan menutup JJ Royal, ternyata itu hanya lips service. Keputusan itu dianulir dengan alasan Peraturan Daerah (Perda) tentang Izin Hiburan belum dilengkapi peraturan wali kota (perwali). Padahal, menurut Ketua Komisi A DPRD setempat, Ali Muhtar, pasal-pasal yang dilanggar JJ Royal, tak butuh perwali (Jawa Pos Radar Bromo, 18 Februari 2015).
Naifnya, perda bernomor 6/2010 itu telah ditetapkan sejak 2010 silam. Artinya, sudah 5 tahun raperda itu tak berlaku maksimal lantaran tak dilengkapi perwali. Ini benar-benar aneh. Dan, lebih aneh, ketika keanehan itu seakan menjadi hal yang biasa di lingkungan Pemkot Probolinggo. Sebab, ternyata Perda tentang Izin Hiburan bukan satu-satunya perda yang tak dilengkapi perwali.
Sejak 2005, tercatat ada 29 perda yang belum dilengkapi perwali (Jawa Pos Radar Bromo, 18 Februari 2015). Sebanyak 29 perda, jelas banyak. Apalagi, bisa jadi, sebuah perda tak cukup hanya dilengkapi sebuah perwali.
Banyaknya perda yang belum dilengkapi perwali itu, jelas menjadi hal yang sangat memprihatinkan. Apalagi, jika mengingat upaya menyusun perda, dari pembuatan naskah akademik, draf raperda, sampai pembahasan, jelas butuh ketelatenan. Baik dalam menyiapkan anggaran, lebih-lebih ketika “memeras” otak untuk menelurkan perda.
Sebelum merancang naskah akademik, perancang perda harus melakukan identifikasi masalah. Mulai tahap ini saja, perancang perda jelas butuh pemikiran mendalam. Sebab, harus menampung segala permasalah yang akan timbul ketika perda yang dirancang disahkan.
Dalam mengidentifikasi masalah, juga ada beberapa langkah yang tak boleh dilewatkan. Seperti, susunan kata dari peraturan harus jelas dan tak rancu. Jangan sampai peraturan malah memberi peluang warga untuk berperilaku melanggar. Termasuk, apa ada kepentingan material atau nonmaterial yang mempengaruhi pemegang peran dalam bertindak sesuai atau tak sesuai aturan. Apa nilai-nilai, kebiasaan, dan adat-istiadat yang ada, cukup mempengaruhi pemegang peran untuk bertindak sesuai atau bertentangan dengan aturan.
Usai identifikasi masalah, juga harus mengidentifikasi dasar hukumnya. Bagaimana perda baru dapat memecahkah masalah. Identifikasi ini mencakup inventarisasi perundang-undangan. Serta, kajian terhadap kemampuan aparatur pemerintah dalam melaksanakan peraturannya.
Identifikasi ini juga meliputi analisis terhadap pelaksanaan dan penegakan peraturan. Tujuannya, mengetahui bagian-bagian peraturan yang ada, yang telah dan belum, atau tidak ditegakkan. Termasuk alasan yang menyertai dan instansi yang bertanggung jawab atas pelaksanaannya.
Itu, dilakukan sebelum menyusun naskah akademik. Namun, kadang para perancang perda terlalu cepat memutuskan soal perlunya membuat rancangan perda, tanpa melakukan kajian yang mendalam. Sehingga, banyak peraturan yang tak bisa diterapkan dengan maksimal.
Sedangkan dalam menyusun naskah akademik, ada sejumlah hal yang harus dilakukan agar peraturan yang disusun terarah. Seperti, apa permasalahan yang dihadapi sudah didefinisikan secara benar. Apa peraturan yang baru merupakan langkah terbaik pemerintah. Manfaatnya apa lebih besar dari biayanya. Apa distribusi manfaat ke seluruh masyarakat transparan. Apakah peraturannya jelas, konsisten, dapat diakses, dan dipahami para pemakainya.
Sejatinya, cukup banyak yang harus diperhatikan dalam merancang naskah akademik perda. Tapi, paling tidak harus memperhatikan tiga hal. Meliputi, menjawab pertanyaan mengapa diperlukan perda baru; lingkup materi, kandungan, dan komponen utama perda; serta proses yang akan digunakan untuk menyusun dan mengesahkan perda.
Melihat tahapan-tahapan di atas terlihat betapa “rumitnya” membuat sebuah perda. Itu, belum masuk dalam pembahasan antara legislatif dan eksekutif. Apalagi, untuk membahas sebuah raperda sudah menjadi kebiasaan selalu disertai dengan kunjungan kerja (kunker). Dan, kunker ini juga sering keluar daerah. Sehingga, jelas anggaran yang dibutuhkan untuk sebuah perda, tak sedikit.
Andai sebuah perda –dari awal kajian hingga disahkan- butuh dana Rp 100 juta, jika 29 perda terhitung butuh Rp 2,9 miliar. Duit miliaran rupiah itu jelas banyak. Karenanya, sangat disayangkan bila peraturan yang dibiayai APBD itu tak berlaku maksimal. Apalagi, sampai mandul. Itu sama artinya membuang duit rakyat lewat perda.
Selain membuang duit, tidak adanya perwali untuk sejumlah perda juga terbukti telah menimbulkan masalah sosial. Contohnya, polemik JJ Royal. Termasuk, mundurnya empat tim ahli cagar budaya Kota Probolinggo, Jumat, 26 September 2014, yang konon salah satu alasannya karena pemerintah tak berkomitmen mendukung kerja mereka. Serta, belum adanya perwali sebagai petunjuk pelaksana Perda Nomor 10/2013 tentang Pengelolaan Cagar Budaya dan Museum (Jawa Pos Radar Bromo, 8 Desember 2014). Alangkah baiknya, bila perda didok, saat itu juga perwali-nya disusun! Bisakah? (*)

*) Dipublikasikan di Jawa Pos Radar Bromo, pada 1 Maret 2015

0 komentar:

Posting Komentar