MASIH jelas dalam ingatan dan tak mudah dilupakan. Sekitar 25 tahun lalu, ketika aku masih duduk di bangku madrasah ibtidaiyah. Bukan madrasah favorit, hanya madrasah biasa. Sama-sama biasa dengan madrasah lain di desaku.
----------------------------------------
Zaman itu, selepas bersekolah di sekolah dasar mulai pagi sampai
siang, siang sampai sore aku harus kembali memakai seragam sekolah untuk menuntut
ilmu agama di madrasah. Melelahkan. Belum sempat istirahat atau sekadar tidur
siang, pulang sekolah dasar pukul setengah dua belas, pukul satu siang aku
harus kembali berangkat ke madrasah.
Sore sepulang madrasah pukul empat, aku hanya punya waktu sebentar
untuk istirahat. Aku harus kembali memakai pakaian rapi. Bersarung kadang berbaju
koko berangkat ke musala kiai belajar membaca kitab suci. Melelahkan. Saking
lelahnya, tak jarang kantuk mengantarkanku terpejam usai salat berjamaah maghrib
bersama kiai.
Namun, belum sempat bermimpi, gulungan tasbih terbuat dari kayu kaoka
mendarat di dada, menandakan aku harus bangun. Sakitanya tak seberapa, mungkin
lebih sakit sedikit dari sekadar dicubit, dijewer, atau dioles pakai cat lukis seperti
dialami oleh salah satu murid almarhum Bapak Ahmad Budi Cahyono.
Namun, rasa malu, karena sejumlah teman tersenyum nyinyir dan
menertawai kekagetanku, membuat hati ini terasa perih. Anehnya, kala itu aku gak berani melawan. Jangankan melawan,
menatap wajah kiai yang terus berwirid saja aku tak berani. Pilihannya, mataku
harus melek mengukuti bacaan wirid yang
dipandu kiai.
Sore berlalu. Adzan isyak berkumandang. Kebahagiaan akan segera
pulang dari musala terbersit dalam hati. Merasa diri akan bebas dari aktivitas belajar
dan akan segera istirahat. Aku dan teman-teman musala berebut, adu cepat
menaruh kitab suci yang sedari tadi kami baca.
Syukur, aku sudah sampai rumah. Bukan istirahat, sejumlah
pekerjaan rumah yang diberikan guru di sekolah dasar dan madrasah masih harus
kuselesaikan. Ada sejumlah kata-kata bahasa Arab yang juga harus kuhafalkan. Namun,
kegiatan ini jauh lebih aku suka dibanding mengkaji kitab suci. Ya, setan
mungkin tidak mau aku berlama-lama pegang kitab suci.
Tapi, mungkin karena tugas malam ini bisa aku selesaikan sambil
tiduran atau leyeh-leyeh. Sambil menikmati cemilan yang sering dibuat ibu, pohong
rebus. Makanan berbahan baku ketela pohon yang dipanen ibu dari ladang. Cemilan
inilah yang sering menemaniku dalam belajar. Kadang juga menjadi penganti nasi,
ketika persediaan beras habis. Sedangkan, masa panen padi di sawah yang tidak
begitu luas masih jauh.
Aku sangat suka dengan ibu. Ibu tak hanya bisa menyuruhku belajar.
Beliau juga setia menemaniku, meski kutahu ibu tidak bisa membaca. Istilahnya, dalam
dunia pendidikan ibuku buta huruf. Tapi, kalau urusan uang, beliau paham. Bahkan,
sangat mengerti.
Ilmu matematika ibu juga jitu. Tapi, khusus perkalian, pembagian,
dan tambahan. Angka berapa kali berapa yang aku tanyakan, pasti selalu dijawab
cepat, lebih cepat dari caraku menggitung di atas kertas oret-oretan. Maklum,
kala itu aku gak punya kalkulator dan
menggunakan alat ini juga dilarang, karena dapat membuatku malas berhitung.
Ibu memang beda dengan ayah. Ayah yang selama ini kupangil bapak.
Beliu sukanya hanya menyuruh. Tak pernah menemaniku belajar. Namun, bila aku
ada masalah di sekolah, madrasah, ataupun musala, bapak selalu di depan. Bahkan,
setiap aku hendak naik kelas dan wali kelasku ganti, bapak selalu mendatanginya
menitipkanku.
Namun, aku tidak pernah tahu apa yang ayah titipkan tentangku kepada
wali kelas. Aku memang tak pernah ikut, mereka selalu bertemu di kantor
sekolah.
Seperti biasa, malam itu aku harus menghafal sejumlah kata dalam
bahasa Arab. Hafalan ini harus aku setor besok siang. Tidak terlalu banyak,
hanya 10 kata. Namun, entah kenapa otakku terasa keras sekali dimasuki
kata-kata asing ini. Sampai terbawa kantuk dan tak terasa sudah pagi, 10 kata itu
belun nyantol di otak.
Pagi itu, sebelum berangkat ke sekolah dasar, aku mencoba menghafalnya,
namun tak bisa. Aku hanya ingat sedikit. Siang sebelum berangkat ke madrasah,
aku kembali berusaha. Syukur, otakku sedikit mau menerima, meski tak sempurna.
Siang itu, satu persatu teman madrasahku menyetor hafalannya. Banyak
yang lolos dan kembali duduk. Ada juga yang tak lolos dan mereka belum boleh
duduk. Mereka yang tidak hafal, disuruh berdiri di depan papan tulis. Berjejer
rapi sambi menghafal. Tiba giliranku, waduh
otakku kembali error. Entah kemana
kata-kata yang tadi kuhafal lengkap dengan artinya. Hilang. Aku masuk golongan
mereka yang tak hafal dan harus berdiri.
Namun, kami masih mendapat kesempatan beberapa menit untuk menghafalkan
kembali kata-kata tugas dari Pak Guru. Namun, dalam kesempatan itu hanya ada sejumlah
teman yang berhasil lolos. Aku dan sejumlah teman lain, luput. Karenanya, aku
mendapat sanksi lebih keras. Hemm. Tak
kusangka, Pak Guru yang sedari tadi memegang penggaris kayu sepanjang satu meter,
lebar lima sentimeter dengan ketebalan satu sentimeter, memintaku menjulurkan
telapak tangan.
Kutahu, aku harus dihukum. Kuteringat pesan ibu; “Bila hendak dipukul
telapak tanganmu, berikan yang kiri. Jangan yang kanan. Aku khawatir, kalau yang
tangan akan membuatmu ringan tangan.”
Berdasar pesan ini, kuajukan tangan kiri. Dengan telapak terbuka menghadap
ke atas layaknya pengemis yang menunggu bekas kasihan, aku menunggu hukuman. Plak-plak-plak. Tiga kali pukulan
penggaris kayu membuat telapak tangan kiriku memar. Namun, itu belum akhir. Masih
tersisa dua plak-plak lagi, karena Pak
Guru menetapkan, bila tak hafal akan dipukul sesuai berapa kata tugas yang tidak
dihafal.
Aku hanya dapat mengahafal lima. Masih tersisa dua plak-plak yang akan mendarat di telapak
tangan. Namun, tangan kiriku kurasa tak sanggup lagi menerima sisa hukuman ini.
Terpaksa, kusodorkan telapak tangan kanan. Dua kali plak di tangan kanan, terasa lebih menyakitkan dibanding plak di tangan kiri. Aku meringis, begitu
juga dengan teman-teman yang sama-sama tak hafal.
Esoknya, aku enggan ke madrasah. Tanganku masih sakit, masih trauma
dengan penggaris kayu yang mendarat di kedua telapak tangan. Bapak yang mengetahui
aku malas-malasan, wajahnya langsung tak enak dilihat. Aku tahu, aku pasti
dimarahi. Hmmm. Akupun bercerita dan berterus
terang dengan apa yang kualami di madrasah.
Bapak langsung mengambil ontelnya. Mengantarkanku ke sekolah. Beliau
mengajakku bertemu wali kelas yang telah membuat tanganku memar. Bapak
mendengarkan penjelasan wali kelas yang tidak ada bedanya dengan penjelasanku akan
kejadian kemarin.
“Kamu tahu, setiap kamu naik kelas, aku selalu menemui wali kelasmu.
Aku sengaja melakukan itu untuk menitipkanmu mematuhi peraturan sekolah. Bila
itu kamu langgar, saya izinkan pihak sekolah atau wali kelasmu, menghukummu. Bukan
hanya berdiri, dipukul sampai patah tulang tidak masalah. Tujuannya satu, kamu
hormat pada gurumu dan mendapatkan ilmunya."
Kata-kata bapak membuat sakit di tanganku pindah ke hati. Aku yang
berharap dapat pembelaan, malah makin terpojok. Bapak juga masih memintakan maafku
kepada Pak Guru. Tak ada sedikitpun marah padanya. Malah, bapak berterima kasih
mau mendidik dan menghukumku kala salah.
“Bukan bapak tidak sayang kamu. Tapi, untuk mendapatkan ilmu yang
bermanfaat, kamu harus bisa menghormati dan mematuhi peraturan yang ditetapkan
gurumu. Selagi tidak bertentangan dengan peraturan agama,” lanjut Bapak
menasihatiku.
Rupanya, penggaris kayu itu tak hanya membuat tanganku memar. Tapi,
juga meruntuhkan egoku. Nasihat Bapak masih terus aku kenang. Aku berjanji menurunkan
nasihatnya pada anak keturunanku. (*)
Probolinggo, 28 Februari 2018
4 komentar:
Tulisannya masih ada yang salah seperti kata "sakitanya" harus lebih teliti lagi
siap, Mas. Diperhatikan. Terima kasih sarannya.
Hemmmmm, kereh
terima kasih. Beri masukan, Kang.
Posting Komentar