Menulis bukan hal baru dalam kehidupan manusia. Menulis merupakan salah satu cara berkomunikasi, selain menggunakan bahasa lisan. Menulis juga menjadi gudang ide, sebelum akhirnya dieksekusi. Serta, dapat menjadi warisan dan jejak kehidupan kita.
DARI mana hendak mulai
menulis, sering menjadi masalah bagi banyak calon penulis. Tak hanya mereka
yang baru belajar, mereka yang sudah keyang teori tentang menulis juga tak jarang
masih bingung untuk memulai menuangkan idenya, atau sekadar uneg-unegnya dalam
bentuk tulisan. Meski sejatinya kegamangannya atau buntunya ide dari mana
hendak memulai tulisan, bisa menjadi awal terciptanya sebuah tulisan.
Buntunya
pikiran ini sering muncul karena muluknya keinginan untuk menulis sesuatu yang
sempurna. Menulis tak harus yang prestisius. Menulis apa yang dikuasai, akan
lebih bermakna dibanding tulisan yang kelihatannya wah, tapi hasil jiplak.
Menulis berupa ide biasa akan lebih wah, dibanding tulisan yang tak pernah
tercipta. Namun, tidak sedikit pula calon penulis yang berusaha lebih keras
dengan melakukan banyak riset. Nah, bila kita tidak masuk golongan pekerja
keras, pilihannya lebih baik menulis apa saja yang kita kuasai.
Sejatinya
menulis bukan hal baru dalam kehidupan manusia. Menulis tidak ubahnya orang
berkomunikasi. Bedanya, menulis komunikasinya dalam bentuk tulisan, bukan
secara verbal seperti dilakukan mayoritas makhluk Allah. Mudahnya, komunikasi
secara lisan tak usah diketik dan kadang tidak perlu banyak dipikir untuk
dirangkai. Bahkan, kadang ada yang tidak dipikir dulu sebelum terlontar dari
lisan. Sehingga, tak jarang hasilnya disebut sumpah serapah dan melukai hati
pendengarnya.
Komunikasi
tertulis disebutlah tulisan. Tulisan biasanya lebih abadi dibanding pesan
lisan. Karenanya, setiap pelajar, apa pun tingkatannya akan lebih baik membawa
buku catatan. Karena, seperti yang telah umum dikatakan, ilmu yang tidak
ditulis, bagaikan burung tanpa sangkar. Ide yang tidak ditulis, juga demikian.
Malah akan lebih liar dibanding burung tanpa sangkar. Ide tanpa ditulis,
bagaikan cahaya dalam kegelapan malam. Bila cahaya yang lebih besar datang, ide
kecil rawan hilang. Apalagi muncul raja siang, habislah gelapnya malam.
Tulisan
juga tak kalah ampuhnya dibanding bahasa verbal. Termasuk dalam menata dan
menghancurkan peradaban suatu bangsa. Sifatnya yang bisa lebih abadi, membuat
sejumlah kalangan atau tingkatan pembaca bisa mengaksesnya. Tak peduli tulisan
itu sudah dibuat puluhan atau ratusan tahun silam, sifatnya yang lebih abadi
membuatnya sangat memungkinkan untuk diakses oleh lintas generasi. Karenanya,
menulis menjadi kesempatan untuk menuangkan dan mewariskan ide.
Ide
yang ditulis bisa menjadi warisan untuk anak cucu kita. Bahkan, bisa menjadi
khazanah keilmuan dunia. Lihatlah Ikhya' Ulumuddin karya Imam Ghazali atau
Safinatun Najah karya K.H. Moh. Hasan Genggong, atau karya para ulama dan
penulis-penulis lainnya. Bisa kita bayangkan, bila mereka tidak menulis, atau
sejarah hidup mereka tidak ada yang membukukan, bisa jadi kita tidak akan
pernah tahu siapa Imam Al Ghazali atau K.H. Moh. Hasan Genggong. Karenanya,
tidak salah kiranya bila Pramoedya Ananta Toer bilang; orang boleh pandai
setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam
masyarakat dan dari sejarah. Menulis adalah bekerja untuk keabadian. (House of
Glass).
Disadari
atau tidak, kita bukan Imam Al Ghazali. Juga bukan K.H. Moh. Hasan Genggong.
Usia K.H. Moh. Hasan Genggong diperpanjang Allah SWT., hingga tiga kali,
sehingga beliau baru wafat pada usia 115 tahun. Itu, K.H. Moh. Hasan Genggong.
Lalu, apakah usia kita akan sepanjang usia beliau? Tentu hanya Tuhan yang bisa
menjawab. Namun, usia panjang belum tentu membuat kehidupan kita dikenang dan
diabadikan umat tanpa kita tinggalkan jejak yang jelas.
Imam
Ghazali dan K.H. Moh. Hasan Genggong sebagai tokoh muslim memang tidak pernah
mencatatkan sejarah hidupnya sendiri. Namun, mereka banyak berkarya untuk
kemanjuan Islam. Mereka banyak meninggalkan jejak yang dengan mudah ditelusuri.
Bahkan, sejauh ini kitab-kitabnya menjadi pegangan banyak kalangan. Karenanya,
meski mereka tidak membuat biografi pribadi, banyak penulis-penulis setelahnya
yang berusaha mengabadikan kehidupan mereka. Sejarah kehidupan mereka banyak
digali, ditata sevalid mungkin, sehingga kita yang hidup puluhan, bahkan
ratusan tahun setelah mereka, masih bisa mengenal sosoknya meski hanya melalui
sebuah sejarah atau biografi.
Nah,
kita siapa? Siapa yang akan menulis sejarah atau biografi kita kelak? Masihkan
anak-cucu kita mengenal kita tanpa kita tinggalkan jejak yang jelas? Kedua
contoh tokoh muslim di atas begitu mudah dibukukan, karena banyak meninggalkan
jejak. Baik melalui karya tulis maupun warisan agung berupa pesantren dan ilmu Allah
di hati umat. Sehingga, juga menjadi amal jariyah bagi mereka.
Bila
kita tak bisa meniru dengan mendirikan pesantren, masih banyak yang bisa
diteladani dari banyak tokoh Islam dan bisa kita siapkan sebagai warisan. Salah
satunya melalui karya tulis. Siapa tahu, nanti ada yang tertarik mengeksekusi
ide yang kita tuangkan dalam tulisan. Atau, sekadar menjadi pengobat rindu
anak-cucu kepada kita. (*)
Bondowoso,
15 Desember 2018
0 komentar:
Posting Komentar