Minggu, 30 Desember 2018

Menyiapkan Warisan


Menulis bukan hal baru dalam kehidupan manusia. Menulis merupakan salah satu cara berkomunikasi, selain menggunakan bahasa lisan. Menulis juga menjadi gudang ide, sebelum akhirnya dieksekusi. Serta, dapat menjadi warisan dan jejak kehidupan kita.

DARI mana hendak mulai menulis, sering menjadi masalah bagi banyak calon penulis. Tak hanya mereka yang baru belajar, mereka yang sudah keyang teori tentang menulis juga tak jarang masih bingung untuk memulai menuangkan idenya, atau sekadar uneg-unegnya dalam bentuk tulisan. Meski sejatinya kegamangannya atau buntunya ide dari mana hendak memulai tulisan, bisa menjadi awal terciptanya sebuah tulisan.
Buntunya pikiran ini sering muncul karena muluknya keinginan untuk menulis sesuatu yang sempurna. Menulis tak harus yang prestisius. Menulis apa yang dikuasai, akan lebih bermakna dibanding tulisan yang kelihatannya wah, tapi hasil jiplak. Menulis berupa ide biasa akan lebih wah, dibanding tulisan yang tak pernah tercipta. Namun, tidak sedikit pula calon penulis yang berusaha lebih keras dengan melakukan banyak riset. Nah, bila kita tidak masuk golongan pekerja keras, pilihannya lebih baik menulis apa saja yang kita kuasai.
Sejatinya menulis bukan hal baru dalam kehidupan manusia. Menulis tidak ubahnya orang berkomunikasi. Bedanya, menulis komunikasinya dalam bentuk tulisan, bukan secara verbal seperti dilakukan mayoritas makhluk Allah. Mudahnya, komunikasi secara lisan tak usah diketik dan kadang tidak perlu banyak dipikir untuk dirangkai. Bahkan, kadang ada yang tidak dipikir dulu sebelum terlontar dari lisan. Sehingga, tak jarang hasilnya disebut sumpah serapah dan melukai hati pendengarnya.
Komunikasi tertulis disebutlah tulisan. Tulisan biasanya lebih abadi dibanding pesan lisan. Karenanya, setiap pelajar, apa pun tingkatannya akan lebih baik membawa buku catatan. Karena, seperti yang telah umum dikatakan, ilmu yang tidak ditulis, bagaikan burung tanpa sangkar. Ide yang tidak ditulis, juga demikian. Malah akan lebih liar dibanding burung tanpa sangkar. Ide tanpa ditulis, bagaikan cahaya dalam kegelapan malam. Bila cahaya yang lebih besar datang, ide kecil rawan hilang. Apalagi muncul raja siang, habislah gelapnya malam.
Tulisan juga tak kalah ampuhnya dibanding bahasa verbal. Termasuk dalam menata dan menghancurkan peradaban suatu bangsa. Sifatnya yang bisa lebih abadi, membuat sejumlah kalangan atau tingkatan pembaca bisa mengaksesnya. Tak peduli tulisan itu sudah dibuat puluhan atau ratusan tahun silam, sifatnya yang lebih abadi membuatnya sangat memungkinkan untuk diakses oleh lintas generasi. Karenanya, menulis menjadi kesempatan untuk menuangkan dan mewariskan ide.
Ide yang ditulis bisa menjadi warisan untuk anak cucu kita. Bahkan, bisa menjadi khazanah keilmuan dunia. Lihatlah Ikhya' Ulumuddin karya Imam Ghazali atau Safinatun Najah karya K.H. Moh. Hasan Genggong, atau karya para ulama dan penulis-penulis lainnya. Bisa kita bayangkan, bila mereka tidak menulis, atau sejarah hidup mereka tidak ada yang membukukan, bisa jadi kita tidak akan pernah tahu siapa Imam Al Ghazali atau K.H. Moh. Hasan Genggong. Karenanya, tidak salah kiranya bila Pramoedya Ananta Toer bilang; orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah. Menulis adalah bekerja untuk keabadian. (House of Glass).
Disadari atau tidak, kita bukan Imam Al Ghazali. Juga bukan K.H. Moh. Hasan Genggong. Usia K.H. Moh. Hasan Genggong diperpanjang Allah SWT., hingga tiga kali, sehingga beliau baru wafat pada usia 115 tahun. Itu, K.H. Moh. Hasan Genggong. Lalu, apakah usia kita akan sepanjang usia beliau? Tentu hanya Tuhan yang bisa menjawab. Namun, usia panjang belum tentu membuat kehidupan kita dikenang dan diabadikan umat tanpa kita tinggalkan jejak yang jelas.
Imam Ghazali dan K.H. Moh. Hasan Genggong sebagai tokoh muslim memang tidak pernah mencatatkan sejarah hidupnya sendiri. Namun, mereka banyak berkarya untuk kemanjuan Islam. Mereka banyak meninggalkan jejak yang dengan mudah ditelusuri. Bahkan, sejauh ini kitab-kitabnya menjadi pegangan banyak kalangan. Karenanya, meski mereka tidak membuat biografi pribadi, banyak penulis-penulis setelahnya yang berusaha mengabadikan kehidupan mereka. Sejarah kehidupan mereka banyak digali, ditata sevalid mungkin, sehingga kita yang hidup puluhan, bahkan ratusan tahun setelah mereka, masih bisa mengenal sosoknya meski hanya melalui sebuah sejarah atau biografi.
Nah, kita siapa? Siapa yang akan menulis sejarah atau biografi kita kelak? Masihkan anak-cucu kita mengenal kita tanpa kita tinggalkan jejak yang jelas? Kedua contoh tokoh muslim di atas begitu mudah dibukukan, karena banyak meninggalkan jejak. Baik melalui karya tulis maupun warisan agung berupa pesantren dan ilmu Allah di hati umat. Sehingga, juga menjadi amal jariyah bagi mereka.
Bila kita tak bisa meniru dengan mendirikan pesantren, masih banyak yang bisa diteladani dari banyak tokoh Islam dan bisa kita siapkan sebagai warisan. Salah satunya melalui karya tulis. Siapa tahu, nanti ada yang tertarik mengeksekusi ide yang kita tuangkan dalam tulisan. Atau, sekadar menjadi pengobat rindu anak-cucu kepada kita. (*)
Bondowoso, 15 Desember 2018

0 komentar:

Posting Komentar