Tak hanya perang, kegiatan biasa seperti menulis juga butuh nyali. Butuh keberanian untuk melahirkan sebuah tulisan yang akan dipersembahkan bagi banyak kalangan. Semakin banyak kalangan yang akan membaca tulisan kita, semakin besar pula nyali yang harus disiapkan. Bila Anda tak bernyali, jelas Anda tak akan jadi penulis.
PERNAHKAN Anda menonton atau bahkan
mengikuti tarung bebas atau pencak dor. Di kalangan masyarakat Probolinggo,
terutama di Pesantren Zainul Hasan Genggong, Kecamatan Pajarakan, Kabupaten
Probolinggo, pertarungan itu disebut tarung bebas. Bagi warga Kediri, atau di
kalangan Pesantren Lirboyo, Kediri, perkelahian itu disebut pencak dor.
Pertarungan ini biasanya digelar oleh
perguruan-perguruan silat. Namun, yang selama ini sering mengadakan dari
kalangan pesantren yang di dalamnya juga mengajarkan ilmu bela diri.
Sesuai namanya, dalam pertarungan ini siapa saja boleh
naik ring. Dia bebas bertarung dengan siapapun, tanpa harus melalui timbang badan
seperti dalam perlombaan. Di atas ring, setiap peserta bebas menyerang lawannya
dengan gaya apa saja, termasuk di bagin intim. Bantingan, tendangan, tinju,
sundul, cakar, tidak ada larangan. Namun, wasit akan menghentikan pertandingan
bila salah satu peserta dirasa sudah tak mampu, atau keselamatannya terancam,
atau sudah menyerah.
Sekali lagi, dalam pertarungan ini siapa saja
boleh naik ring dan mencari lawan. Tidak peduli dia punya ilmu bela diri atau
tidak. Termasuk, yang punya jurus jambak dan cakar, juga boleh. Tidak ada
syarat harus pendekar atau dari sebuah perguruan silat. Yang penting bernyali.
Nah, menulis tak beda jauh
dengan pertarungan bebas. Dalam dunia ini, siapa saja boleh menulis. Tak peduli
dia lulusan sekolah atau perguruan tinggi ternama atau tidak. Menulis hanya
butuh keberanian. Berani untuk mengungkapkan ide, berani untuk berbagi, dan
berani untuk dikritisi, bahkan di-bully.
Bisa menulis bukan sebuah bakat, melainkan sebuah
kebiasaan yang harus terus diasah. Jangan minder atau malu untuk menulis karena
bukan sarjana. Sebab, titel belum tentu berbanding lurus dengan keilmuan
seseorang. Banyak lulusan fakultas ekonomi yang masih kesulitan memenuhi
perekonomian keluarganya. Ada lulusan kebidanan, malah menekuni dunia bisnis handycraf. Bahkan, banyak sarjana hukum,
termasuk penegak hukum, malah menjadi pesakitan.
Banyak sejatinya penulis yang tak bertitel, tapi
tulisannya banyak digemari orang dan dijadikan rujukan. Masalahnya hanya, kita
punya nyali apa tidak untuk menulis. Jangan-jangan kita sudah menyerah dulu
sebelum bel pertandingan dibunyikan.
Sama dengan pencak dor atau tarung bebas, berapa
banyak penontonnya, termasuk mereka yang punya ilmu bela diri, tapi gak naik ring. Selama mereka gak naik ring, orang tetap akan
menganggapnya sebagai penonton, bukan petarung, meski ilmu bela dirinya
mumpuni. Begitu kira-kira. Hee... (*)
Bondowoso,
November 2018
0 komentar:
Posting Komentar