Minggu, 30 Desember 2018

Menulis Perlu Nyali


Tak hanya perang, kegiatan biasa seperti menulis juga butuh nyali. Butuh keberanian untuk melahirkan sebuah tulisan yang akan dipersembahkan bagi banyak kalangan. Semakin banyak kalangan yang akan membaca tulisan kita, semakin besar pula nyali yang harus disiapkan. Bila Anda tak bernyali, jelas Anda tak akan jadi penulis.


PERNAHKAN Anda menonton atau bahkan mengikuti tarung bebas atau pencak dor. Di kalangan masyarakat Probolinggo, terutama di Pesantren Zainul Hasan Genggong, Kecamatan Pajarakan, Kabupaten Probolinggo, pertarungan itu disebut tarung bebas. Bagi warga Kediri, atau di kalangan Pesantren Lirboyo, Kediri, perkelahian itu disebut pencak dor.

Pertarungan ini biasanya digelar oleh perguruan-perguruan silat. Namun, yang selama ini sering mengadakan dari kalangan pesantren yang di dalamnya juga mengajarkan ilmu bela diri.

Sesuai namanya, dalam pertarungan ini siapa saja boleh naik ring. Dia bebas bertarung dengan siapapun, tanpa harus melalui timbang badan seperti dalam perlombaan. Di atas ring, setiap peserta bebas menyerang lawannya dengan gaya apa saja, termasuk di bagin intim. Bantingan, tendangan, tinju, sundul, cakar, tidak ada larangan. Namun, wasit akan menghentikan pertandingan bila salah satu peserta dirasa sudah tak mampu, atau keselamatannya terancam, atau sudah menyerah.

Sekali lagi, dalam pertarungan ini siapa saja boleh naik ring dan mencari lawan. Tidak peduli dia punya ilmu bela diri atau tidak. Termasuk, yang punya jurus jambak dan cakar, juga boleh. Tidak ada syarat harus pendekar atau dari sebuah perguruan silat. Yang penting bernyali.

Nah, menulis tak beda jauh dengan pertarungan bebas. Dalam dunia ini, siapa saja boleh menulis. Tak peduli dia lulusan sekolah atau perguruan tinggi ternama atau tidak. Menulis hanya butuh keberanian. Berani untuk mengungkapkan ide, berani untuk berbagi, dan berani untuk dikritisi, bahkan di-bully.

Bisa menulis bukan sebuah bakat, melainkan sebuah kebiasaan yang harus terus diasah. Jangan minder atau malu untuk menulis karena bukan sarjana. Sebab, titel belum tentu berbanding lurus dengan keilmuan seseorang. Banyak lulusan fakultas ekonomi yang masih kesulitan memenuhi perekonomian keluarganya. Ada lulusan kebidanan, malah menekuni dunia bisnis handycraf. Bahkan, banyak sarjana hukum, termasuk penegak hukum, malah menjadi pesakitan.

Banyak sejatinya penulis yang tak bertitel, tapi tulisannya banyak digemari orang dan dijadikan rujukan. Masalahnya hanya, kita punya nyali apa tidak untuk menulis. Jangan-jangan kita sudah menyerah dulu sebelum bel pertandingan dibunyikan.

Sama dengan pencak dor atau tarung bebas, berapa banyak penontonnya, termasuk mereka yang punya ilmu bela diri, tapi gak naik ring. Selama mereka gak naik ring, orang tetap akan menganggapnya sebagai penonton, bukan petarung, meski ilmu bela dirinya mumpuni. Begitu kira-kira. Hee... (*)

Bondowoso, November 2018

0 komentar:

Posting Komentar