“Saya ingin sekali menulis, tapi tidak tahu harus memulai dari mana.” Kalimat ini banyak bersarang dalam pikiran calon penulis. Juga sering dilontarkan para pelajar ketika hendak memulai belajar menulis. Beragam alasan lain juga bermunculan. Termasuk, soal teknik menulis.
BINGUNG kala
menghadapi sesuatu yang baru, merupakan hal wajar. Namun, adanya keinginan
untuk menulis sudah merupakan anugerah besar. Karena sejatinya banyak yang keinginan
saja tidak punya. Soal teknik bisa dipelajari dan bukan yang utama.
Tidak semua penulis mulai menulis
dengan belajar tekniknya dulu. Malah banyak yang tidak pernah belajar teknik
menulis, namun begitu produktif dan tulisannya banyak digemari orang. Seperti,
Indah Tinumbia. Perempuan asal Desa Tabang, Kota Kotamobagu, Sulawesi Utara,
ini bahkan tidak pernah bersekolah. Dia juga tergolong disabilitas. Karena,
selain punya kaki lumpuh dan jari-jari tangan yang kaku, Indah juga nggak bisa bicara dengan lancar.
Kemampuannya membaca dan menulis
diperoleh dari belajar secara otodidak. Yang dibaca juga bukan buku bagus atau
populer, melainkan koran dan majalah bekas pemberian tetangganya. Koran dan
majalah itu ditempel di dinding rumahnya yang terbuat dari gedek. Barang bekas yang
ditempel untuk ‘tolak angin’ itulah yang dibaca Indah. Lembaran koran dan
majalah bekas itu ditempel agar angin malam tak masuk bebas melalui celah-celah
gedek rumahnya. Bagi Indah tempelan koran bekas ini menjadi majalan dinding. Hehe ...
Berkat kegigihannya, kini Indah
telah melahirkan banyak karya tulis. Di antaranya, ada buku berjudul Standing
Because of Love (Sint Publishing) dan Mencintaimu dengan Halalku (Mandiri Jaya
Publishing). Serta, 5 buku antologi bersama penulis lain. Indah juga aktif di
sejumlah komunitas menulis untuk menebar ilmu dan menumbuhkan benih-benih
penulis.
Selain Indah, di sekitar kita juga
ada penulis yang sejauh ini saya belum mendapatkan informasinya, mereka pernah
belajar teknik menulis atau tidak. Sebut saja Kiai Muhammad Tuhfa. Salah
seorang cucu K.H. Moh. Hasan Genggong, ini juga punya karya tulis berupa kitab
Tuhftul Karim. Begitu juga dengan kekeknya, K.H. Moh. Hasan Genggong, banyak
memiliki karya tulis yang sejauh ini masih menjadi rujukan. Di antaranya, ada
Safinatun Najah, Aqidatut Tauhid, dan Hadits Ala Ahrufil Hija'iyah.
Namun, bukan berarti belajar
teknik menulis tidak penting. Belajar menulis seperti belajar memasak. Harus
tahu resep dan tekniknya agar makanan bisa dinikmati. Menulis juga harus bisa
memberi kenikmatan kepada pembaca. Dengan lebih sering memasak, tentu akan lebih
paham meracik bumbu. Dan, bahan makanan yang semula mentah bisa dinikmati.
Andai bahan makanan hanya dipandangi tanpa diolah, pasti tidak akan bisa
dimakan.
Lalu, dari mana harus memulai
menulis? Sejatinya, pertanyaan ini bukan pada waktu atau tempat di mana dan
dari mana kita bisa memulai menulis. Pertanyaan itu saya tangkap sebagai, apa
yang harus ditulis atau jenis tulisan apa yang harus ditelurkan? Karena,
sejatinya setiap manusia mempunyai banyak ide, dan ide setiap orang pasti
berbeda. Untuk menuangkan ide dalam bentuk tulisan inilah yang sering
keropotan.
Menulis termasuk salah satu amal
kebaikan -kalau bukan yang baik-baik, lebih baik tidak menulis. Untuk memulai
sesuatu kebaikan, pasti banyak rintangannya dan harus kuat melawan setan. Karenanya,
bila tidak dipaksakan, atau tidak dengan tekad yang bulat, ide yang sudah siap
menetas akan mengendap dan akhirnya lenyap.
Berkeinginan menjadi penulis saja
tidak cukup, melainkan harus disertai dengan usaha. Menunda keinginan dan
berharap nanti dan besok, sama saja kita dengan berharap cepat tua. Karena,
semakin cepat datangnya hari esok, semakin cepat pula usia kita berkurang.
Keinginan tanpa usaha, Insya Allah akan tetap menjadi kemauan yang tertunda. (*)
Bondowoso,
Desember 2018
0 komentar:
Posting Komentar