Senin, 31 Desember 2018

Antara Teknik dan Keinginan

“Saya ingin sekali menulis, tapi tidak tahu harus memulai dari mana.” Kalimat ini banyak bersarang dalam pikiran calon penulis. Juga sering dilontarkan para pelajar ketika hendak memulai belajar menulis. Beragam alasan lain juga bermunculan. Termasuk, soal teknik menulis.

 BINGUNG kala menghadapi sesuatu yang baru, merupakan hal wajar. Namun, adanya keinginan untuk menulis sudah merupakan anugerah besar. Karena sejatinya banyak yang keinginan saja tidak punya. Soal teknik bisa dipelajari dan bukan yang utama.

Tidak semua penulis mulai menulis dengan belajar tekniknya dulu. Malah banyak yang tidak pernah belajar teknik menulis, namun begitu produktif dan tulisannya banyak digemari orang. Seperti, Indah Tinumbia. Perempuan asal Desa Tabang, Kota Kotamobagu, Sulawesi Utara, ini bahkan tidak pernah bersekolah. Dia juga tergolong disabilitas. Karena, selain punya kaki lumpuh dan jari-jari tangan yang kaku, Indah juga nggak bisa bicara dengan lancar.

Kemampuannya membaca dan menulis diperoleh dari belajar secara otodidak. Yang dibaca juga bukan buku bagus atau populer, melainkan koran dan majalah bekas pemberian tetangganya. Koran dan majalah itu ditempel di dinding rumahnya yang terbuat dari gedek. Barang bekas yang ditempel untuk ‘tolak angin’ itulah yang dibaca Indah. Lembaran koran dan majalah bekas itu ditempel agar angin malam tak masuk bebas melalui celah-celah gedek rumahnya. Bagi Indah tempelan koran bekas ini menjadi majalan dinding. Hehe ...

Berkat kegigihannya, kini Indah telah melahirkan banyak karya tulis. Di antaranya, ada buku berjudul Standing Because of Love (Sint Publishing) dan Mencintaimu dengan Halalku (Mandiri Jaya Publishing). Serta, 5 buku antologi bersama penulis lain. Indah juga aktif di sejumlah komunitas menulis untuk menebar ilmu dan menumbuhkan benih-benih penulis.

Selain Indah, di sekitar kita juga ada penulis yang sejauh ini saya belum mendapatkan informasinya, mereka pernah belajar teknik menulis atau tidak. Sebut saja Kiai Muhammad Tuhfa. Salah seorang cucu K.H. Moh. Hasan Genggong, ini juga punya karya tulis berupa kitab Tuhftul Karim. Begitu juga dengan kekeknya, K.H. Moh. Hasan Genggong, banyak memiliki karya tulis yang sejauh ini masih menjadi rujukan. Di antaranya, ada Safinatun Najah, Aqidatut Tauhid, dan Hadits Ala Ahrufil Hija'iyah.

Namun, bukan berarti belajar teknik menulis tidak penting. Belajar menulis seperti belajar memasak. Harus tahu resep dan tekniknya agar makanan bisa dinikmati. Menulis juga harus bisa memberi kenikmatan kepada pembaca. Dengan lebih sering memasak, tentu akan lebih paham meracik bumbu. Dan, bahan makanan yang semula mentah bisa dinikmati. Andai bahan makanan hanya dipandangi tanpa diolah, pasti tidak akan bisa dimakan.

Lalu, dari mana harus memulai menulis? Sejatinya, pertanyaan ini bukan pada waktu atau tempat di mana dan dari mana kita bisa memulai menulis. Pertanyaan itu saya tangkap sebagai, apa yang harus ditulis atau jenis tulisan apa yang harus ditelurkan? Karena, sejatinya setiap manusia mempunyai banyak ide, dan ide setiap orang pasti berbeda. Untuk menuangkan ide dalam bentuk tulisan inilah yang sering keropotan.

Menulis termasuk salah satu amal kebaikan -kalau bukan yang baik-baik, lebih baik tidak menulis. Untuk memulai sesuatu kebaikan, pasti banyak rintangannya dan harus kuat melawan setan. Karenanya, bila tidak dipaksakan, atau tidak dengan tekad yang bulat, ide yang sudah siap menetas akan mengendap dan akhirnya lenyap.

Berkeinginan menjadi penulis saja tidak cukup, melainkan harus disertai dengan usaha. Menunda keinginan dan berharap nanti dan besok, sama saja kita dengan berharap cepat tua. Karena, semakin cepat datangnya hari esok, semakin cepat pula usia kita berkurang. Keinginan tanpa usaha, Insya Allah akan tetap menjadi kemauan yang tertunda. (*)

Bondowoso, Desember 2018

0 komentar:

Posting Komentar