![]() |
BERSAMA ARTIS: Nyai Hj Diana Susilowati (kanan) bersama M. Kholidi Asadil Alam dan Nyai Hj. Endah Nihayati. (foto/istimewa) |
Meski jadi salah satu pengasuh pesantren besar, namun Nyai Hj Diana Susilowati lebih suka beraktivitas di luar pesantren. Mengapa?
LIMA perempuan berkerudung datang dan
menyalami Ning Sus –sapaan Diana Susilowati- yang kala itu duduk di sebuah
kursi di ruang tengah rumahnya. Kepada lima tamu itu, Ning Sus meminta
menunggunya di ruang tamu. Tak lama
kemudian, Ning Sus memanggil khadamnya.
Seakan sudah mengerti, sang
khadam segera
menemui kelima tamu itu dan memberi mereka duit. “Katanya, juga ada tamu
laki-laki enam orang, Bu Nyai,” ujar sang khadam. “Coba kamu lihat mereka di mana,” pinta Ning
Sus. Tanpa menunggu lama, sang khadam begegas dan melaporkan apa
yang dilihatnya. Akhirnya, enam tamu lelaki itu masing-masing mendapatkan sedekah.
Pemandangan itu terlihat ketika Jawa Pos Radar Bromo menemui Ning Sus di rumahnya, Minggu (29/6/2014) lalu, sekira
pukul 12.30 WIB. Usai mendapatkan fulus, para tamu yang
bukan pengemis dan dari pakaiannya terlihat berkecukupan itu pamit pulang. “Ini
(sedekah) tabungan akhirat saya,” ujar pemilik nama lengkap Nyai Hj. Diana
Susilowati itu kepada koran ini.
“Ada apa, ada yang bisa saya bantu,” lanjutnya, menanyakan keperluan Jawa Pos Radar Bromo. Singkatnya,
ibu tiga anak itu pun bersedia
bercerita soal kehidupannya.
Hal itu tentu saja sedikit melegakan. Sebab, Ning Sus selama ini terbilang
sulit ditemui di rumahnya.
Bukannya
sombong, tapi lebih karena
kesibukannya; gemar
bersilaturahmi. Saking gemarnya, serasa tiada hari tanpa silaturahmi. Sehingga,
bila hendak bertemu dengannya, harus janjian dulu.
“Di pesantren saya bagian keluar,
tapi menyedot orang datang. Saya silaturahmi kemana-mana, setelah orang-orang
itu kenal saya, mereka datang ke sini. Saya kalau sampai tiga hari tidak
keluar (silaturahmi), sepertinya mau sakit. Dengan silaturahmi saya jadi jarang sakit,” ujar Ning Sus, tersenyum.
Kegiatan silaturahmi ini tak
hanya dilakukan Ning Sus kepada sanak saudaranya. Tapi, juga kepada para
pengasuh pesantren dan fakir miskin. Bahkan, pekan lalu Ning Sus berada di
Pulau Madura selama 10 hari. Di sana, putri pertama K.H. Hasan Saifourriddzal ini mengikuti gurunya, Syekh
Muhammad bin Ismail Zein dari Makkah, bersilaturahmi kepada sejumlah ulama di pulau
garam itu.
Dalam silaturahmi bareng Syekh Muhammad ini, dalam sehari bisa
bertemu dengan 11 kiai di Madura. Sehingga, bila menghabiskan waktu selama 10
hari, total ada 111 kiai
yang dijumpai. “Alhamdulillah, kiai se-Madura insya Allah sudah saya kenal semua. Di sini saya merasakan, betapa
barokahnya mengikuti guru,” ujar alumnus Pondok Pesantren Darul Ulum Jombang
itu.
Tak hanya para kiai di Madura atau Jawa Timur, sejumlah kiai di ibu kota
Jakarta juga tak luput dari kunjungannya. Misalnya, Nyai Hj. Tutik
Alawiyah, pengasuh Pesantren Assyafi’iyah, Jakarta. Dan, K.H. Nur Muhammad Iskandar, pengasuh Pesantren
As-Siddiqiyah, Jakarta.
Dengan bersilaturahmi kepada sejumlah kiai dan pesantren, Ning Sus mengaku
selain mendapatkan banyak teman, juga banyak mendapatkan ilmu. Ilmu yang
didapat dalam bersilaturahmi, kata Ning Sus, merupakan ilmu
langsung yang dipelajari dari orang-orag yang dijumpainya. Misalnya, bagaimana
para kiai dan nyai yang dijumpainya menghormati tamu, bagaimana mereka dalam
bersedekah dan lain sebagainya.
Meski mempunyai pesantren dan pernah mondok bertahun-tahun, Ning Sus
mengaku ilmunya masih dangkal. Sehingga, ia perlu belajar kepada para ulama dan
nyai melalui media silaturahmi. Ya, Ning Sus kecil, ketika usianya baru
menginjak 8 tahun, dikirim menuntut ilmu di Pondok Pesantren Darul Ulum,
Jombang, selama setahun. Berikutnya, Ning Sus ngangsu kaweruh di Pondok
Pesantren Mambaul Maarif Denanyar, Jombang. Di pondok asuhan K.H. Bisri
Syansuri ini, Ning Sus nyantri selama
7 tahun, sebelum akhirnya menikah.
“Dengan bersilaturahmi, saya bisa belajar bagaimana para kiai dan bu nyai
itu menghormati tamu. Juga dengan keluar dari Genggong, saya jadi tahu Genggong
ini masih belum ada apa-apanya. Masih banyak pesantren-pesantren besar yang
lebih besar dari Genggong. Seperti As-Siddiqiyah, cabangnya di mana-mana,”
ujarnya.
Selain para kiai dan fakir
miskin, Ning Sus juga gemar menyambangi para narapidana dan tahanan. Baik narapidana
atau tahanan yang ada di Probolinggo ataupun di luar tempat kelahirannya itu. Seperti
di Rumah Tahanan (Rutan) Medaeng, Surabaya. Terutama para narapidana
perempuan. Tujuannya,
kata Ning Sus, demi melihat mereka senang dan tak merasa diasingkan. “Supaya
terobati karena mereka kan merasa
tersingkir dari keluarganya. Kami beri semangat. Kalau masalah tobat, hidayah, itu kan yang mengatur Allah,” ujar ibunda dr. Muhammad
Haris ini.
Berkat kegemarannya bersilaturahmi, kini Ning Sus dikenal di mana-mana. Tak
hanya dari kalangan kiai, fakir miskin, narapidana, kalangan artis juga banyak
yang mengenalnya. Banyak artis ternama yang pernah datang bersilaturahmi kepada Ning Sus.
Seperti, Anang Hermansyah dan istrinya Asyanti, Arzetti Bilbina, Charly ST 12, dan Nia
Ramadani bersama suaminya, Aldi Bakri. Kalau si raja dangdut, Rhoma Irama dan
Ustadz Yusuf Mansur, sudah tak terhitung berapa kali ke kediaman Ning Sus.
Dengan banyaknya artis yang “mencarinya,” banyak yang beranggapan Ning Sus
merupakan guru spiritual mereka. Namun, penilaian ini dibantah oleh kakak kandung K.H. Moh. Hasan
Mutawakkil Alallah itu. Katanya, para artis itu datang hanya untuk
bersilaturahmi. Kadang
ada yang minta saran dan doa. “Ada (artis) yang tahu saya dan ingin kenal,
jadi datang ke sini. Kadang
ada yang curhat masalahnya, minta didoakan, ya saya minta sama-sama mendoakan,” ujar bu nyai yang mengaku suka
gambusan ketika masih mondok itu.
Di samping kegiatannya bersilaturahmi, di Pesantren Zaha Genggong, Ning Sus
juga mempunyai jamaah tariqoh dan pengajian. Dua jamiyah ini
mempunyai kegiatan di hari dan jam berbeda. Tariqoh Qodiriyah Nasabandiyah yang
ditekuninya sejak puluhan tahun silam itu digelar sebulan sekali, saban Sabtu Wage. Sedangkan, pengajian
terdiri dari dua kelompok dan digelar sepekan sekali. Yakni, saban Minggu sore
dan Jumat siang. Jamaahnya, kebanyakan ibu-ibu dan sudah sepuh-sepuh.
Menurut Ning Sus, ada sekitar 600 orang yang rutin mengikuti majelis
taklimnya. Di antara mereka juga banyak dari keluarga tak mampu. Mendapati itu,
Ning Sus tak tinggal diam. Mereka yang tak mampu secara ekonomi, dibantunya.
Ada yang dikirimi kebutuhan dapur
saban pekan, ada yang saban bulan, ada juga yang harian. Saban Lebaran pun
tak ketinggalan, mereka rutin dapat jatah baju baru. “Saya lebih senang melihat
ke bawah karena dengan seperti itu saya bisa bersyukur,” ujarnya.
Dengan “hanya” bersilaturahmi dan bersedekah, dari mana duit yang
didapatkan untuk melakukan kebaikan itu? Termasuk, membiayai mobilitasnya dalam bersilaturahmi dan jatah sekitar
600 jamaah majelis taklimnya? Mendapati pertanyaan ini, Ning Sus tak bersedia menjawab detail.
“Ada saja pemberian Allah. Kalau bisnis, rahasia,” ujar bu nyai yang juga
merahasiakan berapa usianya kini.
Apakah hanya silaturahmi? Selain kegiatan yang memang diperintah agama itu, Ning Sus juga punya
kegiatan lain. Sejak beberapa bulan terakhir, ibu tiga anak ini punya kegiatan syuting
sebuah rubrik kuliner untuk sebuah stasiun televisi swasta
nasional.
Seakan klop dengan kebiasaannya,
gerakan silaturahmi Ning Sus
makin menjadi-jadi. Maklum, kegiatan syuting ini juga berpindah-pindah dan tak
hanya di Indonesia. Misalnya, pada 18-26 Mei lalu, Ning Sus syuting di Johor, Malaysia. Di sana ia juga bersilaturahmi
dengan sejumlah datuk, salah satunya Datuk Syarifuddin. Pekan depan, Ning Sus
juga punya jadwal syuting di Jember dan Lumajang. “Hidup itu
dinikmati saja. Jangan suka jengkel pada orang lain agar tetap sehat,” pesannya. Dipublikasikan di Jawa Pos Radar Bromo, pada Ramadan
1435 Hijriah. (ind)
0 komentar:
Posting Komentar