Rabu, 01 Juli 2015

Ning Sus, Jadi Curhatan Artis Kondang




BERSAMA ARTIS: Nyai Hj Diana Susilowati (kanan) bersama M. Kholidi Asadil Alam dan Nyai Hj. Endah Nihayati. (foto/istimewa)

Meski jadi salah satu pengasuh pesantren besar, namun Nyai Hj Diana Susilowati lebih suka beraktivitas di luar pesantren. Mengapa?

LIMA perempuan berkerudung datang dan menyalami Ning Sus –sapaan Diana Susilowati- yang kala itu duduk di sebuah kursi di ruang tengah rumahnya. Kepada lima tamu itu, Ning Sus meminta menunggunya di ruang tamu. Tak lama kemudian, Ning Sus memanggil khadamnya.
Seakan sudah mengerti, sang khadam segera menemui kelima tamu itu dan memberi mereka duit. “Katanya, juga ada tamu laki-laki enam orang, Bu Nyai,” ujar sang khadam. Coba kamu lihat mereka di mana,” pinta Ning Sus. Tanpa menunggu lama, sang khadam begegas dan melaporkan apa yang dilihatnya. Akhirnya, enam tamu lelaki itu masing-masing mendapatkan sedekah.
Pemandangan itu terlihat ketika Jawa Pos Radar Bromo menemui Ning Sus di rumahnya, Minggu (29/6/2014) lalu, sekira pukul 12.30 WIB. Usai mendapatkan fulus, para tamu yang bukan pengemis dan dari pakaiannya terlihat berkecukupan itu pamit pulang. “Ini (sedekah) tabungan akhirat saya,” ujar pemilik nama lengkap Nyai Hj. Diana Susilowati itu kepada koran ini.
“Ada apa, ada yang bisa saya bantu,” lanjutnya, menanyakan keperluan Jawa Pos Radar Bromo. Singkatnya, ibu tiga anak itu pun bersedia bercerita soal kehidupannya. Hal itu tentu saja sedikit melegakan. Sebab, Ning Sus selama ini terbilang sulit ditemui di rumahnya.
Bukannya sombong, tapi lebih karena kesibukannya; gemar bersilaturahmi. Saking gemarnya, serasa tiada hari tanpa silaturahmi. Sehingga, bila hendak bertemu dengannya, harus janjian dulu.
“Di pesantren saya bagian keluar, tapi menyedot orang datang. Saya silaturahmi kemana-mana, setelah orang-orang itu kenal saya, mereka datang ke sini. Saya kalau sampai tiga hari tidak keluar (silaturahmi), sepertinya mau sakit. Dengan silaturahmi saya jadi jarang sakit,” ujar Ning Sus, tersenyum.
Kegiatan silaturahmi ini tak hanya dilakukan Ning Sus kepada sanak saudaranya. Tapi, juga kepada para pengasuh pesantren dan fakir miskin. Bahkan, pekan lalu Ning Sus berada di Pulau Madura selama 10 hari. Di sana, putri pertama K.H. Hasan Saifourriddzal ini mengikuti gurunya, Syekh Muhammad bin Ismail Zein dari Makkah, bersilaturahmi kepada sejumlah ulama di pulau garam itu.
Dalam silaturahmi bareng Syekh Muhammad ini, dalam sehari bisa bertemu dengan 11 kiai di Madura. Sehingga, bila menghabiskan waktu selama 10 hari, total ada 111 kiai yang dijumpai. “Alhamdulillah, kiai se-Madura insya Allah sudah saya kenal semua. Di sini saya merasakan, betapa barokahnya mengikuti guru,” ujar alumnus Pondok Pesantren Darul Ulum Jombang itu.
Tak hanya para kiai di Madura atau Jawa Timur, sejumlah kiai di ibu kota Jakarta juga tak luput dari kunjungannya. Misalnya, Nyai Hj. Tutik Alawiyah, pengasuh Pesantren Assyafi’iyah, Jakarta. Dan, K.H. Nur Muhammad Iskandar, pengasuh Pesantren As-Siddiqiyah, Jakarta.
Dengan bersilaturahmi kepada sejumlah kiai dan pesantren, Ning Sus mengaku selain mendapatkan banyak teman, juga banyak mendapatkan ilmu. Ilmu yang didapat dalam bersilaturahmi, kata Ning Sus, merupakan ilmu langsung yang dipelajari dari orang-orag yang dijumpainya. Misalnya, bagaimana para kiai dan nyai yang dijumpainya menghormati tamu, bagaimana mereka dalam bersedekah dan lain sebagainya.
Meski mempunyai pesantren dan pernah mondok bertahun-tahun, Ning Sus mengaku ilmunya masih dangkal. Sehingga, ia perlu belajar kepada para ulama dan nyai melalui media silaturahmi. Ya, Ning Sus kecil, ketika usianya baru menginjak 8 tahun, dikirim menuntut ilmu di Pondok Pesantren Darul Ulum, Jombang, selama setahun. Berikutnya, Ning Sus ngangsu kaweruh di Pondok Pesantren Mambaul Maarif Denanyar, Jombang. Di pondok asuhan K.H. Bisri Syansuri ini, Ning Sus nyantri selama 7 tahun, sebelum akhirnya menikah.
“Dengan bersilaturahmi, saya bisa belajar bagaimana para kiai dan bu nyai itu menghormati tamu. Juga dengan keluar dari Genggong, saya jadi tahu Genggong ini masih belum ada apa-apanya. Masih banyak pesantren-pesantren besar yang lebih besar dari Genggong. Seperti As-Siddiqiyah, cabangnya di mana-mana,” ujarnya.
Selain para kiai dan fakir miskin, Ning Sus juga gemar menyambangi para narapidana dan tahanan. Baik narapidana atau tahanan yang ada di Probolinggo ataupun di luar tempat kelahirannya itu. Seperti di Rumah Tahanan (Rutan) Medaeng, Surabaya. Terutama para narapidana perempuan. Tujuannya, kata Ning Sus, demi melihat mereka senang dan tak merasa diasingkan. “Supaya terobati karena mereka kan merasa tersingkir dari keluarganya. Kami beri semangat. Kalau masalah tobat, hidayah, itu kan yang mengatur Allah,” ujar ibunda dr. Muhammad Haris ini.
Berkat kegemarannya bersilaturahmi, kini Ning Sus dikenal di mana-mana. Tak hanya dari kalangan kiai, fakir miskin, narapidana, kalangan artis juga banyak yang mengenalnya. Banyak artis ternama yang pernah datang bersilaturahmi kepada Ning Sus. Seperti, Anang Hermansyah dan istrinya Asyanti, Arzetti Bilbina, Charly ST 12, dan Nia Ramadani bersama suaminya, Aldi Bakri. Kalau si raja dangdut, Rhoma Irama dan Ustadz Yusuf Mansur, sudah tak terhitung berapa kali ke kediaman Ning Sus.
Dengan banyaknya artis yang “mencarinya,” banyak yang beranggapan Ning Sus merupakan guru spiritual mereka. Namun, penilaian ini dibantah oleh kakak kandung K.H. Moh. Hasan Mutawakkil Alallah itu. Katanya, para artis itu datang hanya untuk bersilaturahmi. Kadang ada yang minta saran dan doa. “Ada (artis) yang tahu saya dan ingin kenal, jadi datang ke sini. Kadang ada yang curhat masalahnya, minta didoakan, ya saya minta sama-sama mendoakan,” ujar bu nyai yang mengaku suka gambusan ketika masih mondok itu.
Di samping kegiatannya bersilaturahmi, di Pesantren Zaha Genggong, Ning Sus juga mempunyai jamaah tariqoh dan pengajian. Dua jamiyah ini mempunyai kegiatan di hari dan jam berbeda. Tariqoh Qodiriyah Nasabandiyah yang ditekuninya sejak puluhan tahun silam itu digelar sebulan sekali, saban Sabtu Wage. Sedangkan, pengajian terdiri dari dua kelompok dan digelar sepekan sekali. Yakni, saban Minggu sore dan Jumat siang. Jamaahnya, kebanyakan ibu-ibu dan sudah sepuh-sepuh.
Menurut Ning Sus, ada sekitar 600 orang yang rutin mengikuti majelis taklimnya. Di antara mereka juga banyak dari keluarga tak mampu. Mendapati itu, Ning Sus tak tinggal diam. Mereka yang tak mampu secara ekonomi, dibantunya. Ada yang dikirimi kebutuhan dapur saban pekan, ada yang saban bulan, ada juga yang harian. Saban Lebaran pun tak ketinggalan, mereka rutin dapat jatah baju baru. “Saya lebih senang melihat ke bawah karena dengan seperti itu saya bisa bersyukur,” ujarnya.
Dengan “hanya” bersilaturahmi dan bersedekah, dari mana duit yang didapatkan untuk melakukan kebaikan itu? Termasuk, membiayai mobilitasnya dalam bersilaturahmi dan jatah sekitar 600 jamaah majelis taklimnya? Mendapati pertanyaan ini, Ning Sus tak bersedia menjawab detail. “Ada saja pemberian Allah. Kalau bisnis, rahasia,” ujar bu nyai yang juga merahasiakan berapa usianya kini.
Apakah hanya silaturahmi? Selain kegiatan yang memang diperintah agama itu, Ning Sus juga punya kegiatan lain. Sejak beberapa bulan terakhir, ibu tiga anak ini punya kegiatan syuting sebuah rubrik kuliner untuk sebuah stasiun televisi swasta nasional.
Seakan klop dengan kebiasaannya, gerakan silaturahmi Ning Sus makin menjadi-jadi. Maklum, kegiatan syuting ini juga berpindah-pindah dan tak hanya di Indonesia. Misalnya, pada 18-26 Mei lalu, Ning Sus syuting di Johor, Malaysia. Di sana ia juga bersilaturahmi dengan sejumlah datuk, salah satunya Datuk Syarifuddin. Pekan depan, Ning Sus juga punya jadwal syuting di Jember dan Lumajang. “Hidup itu dinikmati saja. Jangan suka jengkel pada orang lain agar tetap sehat,” pesannya. Dipublikasikan di Jawa Pos Radar Bromo, pada Ramadan 1435 Hijriah.  (ind)

0 komentar:

Posting Komentar