Minggu, 18 Januari 2015

Mengadili Kemarahan Rakyat

AMUK puluhan atau mungkin ratusan massa tak mampu dibendung. Minggu (7/12) malam lalu, lelaki berinisial Rs, 26, yang diduga maling sepeda motor tak berkutik. Bata, batu, bahkan batako menghantam tubuhnya. Rs pun tergolek.


Kemarahan sejumlah warga di Desa Banjarsari, Kecamatan Sumberasih, Kabupaten Probolinggo, itu seakan tak bisa lagi diredam. Sepeda motor yang dikendarai Rs pun tinggal kerangka. Mungkin dalam benak mereka; Rs harus tamat.
Meski Rs yang dikeroyok, di benak warga malam itu bisa saja bukan Rs. Massa juga bisa dimungkinkan tak mengenal Rs. Mereka hanya tahu, maling. Karena Rs diduga maling, warga pun menghakiminya. Kemarahan itu, diperkuat dengan sejumlah warga yang mengaku ada tetangganya jadi korban begal. Bahkan, tetangga itu kini belum sembuh karena dilukai begal. Tak heran, Banjarsari Mencekam. (Jawa Pos Radar Bromo, 8/12).

***

Ada sebab, ada akibat. Begitu kata pepatah. Rs menjadi korban “pengadilan rakyat.” Pasti, sebelum rakyat marah, ada sebab yang membuat emosi mereka terbakar. Yakni, aksi begal yang tak hanya merampas motor, tapi juga melukai korbannya.
Menjadi korban kejahatan memang mengjengkelkan. Apalagi, bila pelaku sampai melukai korbannya. Tak heran bila ada “maling” tertangkap massa, bisa dipastikan akan babak belur. Warga, meski belum pernah menjadi korban pencurian, dengan sukarela akan memberinya hadiah. Paling tidak bogem mentah. Apalagi, mereka yang pernah menjadi korban.
Bagi mereka yang pernah menjadi korban pencurian, tapi tak sempat menggebuki akan keluar doa kematian. Kata-kata kapok, mampus, matek, dan sebagainya, seakan keluar begitu saja. Tapi, bila mendengar malingnya tidak mati, mereka akan menyayangkan.
Ya, begitulah bentuk kemarahan sebagian masyarakat. Entah kalau ada korban yang sabarnya kelas tinggi, mungkin tak akan demikian. Karena bagi orang yang sabar, mendoakan musuh adalah lebih baik. Tapi, ini sungguh sangat sulit. Tak heran bila setiap ada maling tertangkap massa, kebanyakan benjol-benjol karena digebuki.
Sejatinya, ada pelajaran berharga dalam setiap kejadian. Terutama, bagi aparat penegak hukum. Baik itu kepolisian, kejaksaan, maupun para hakim di pengadilan negeri. Sekali lagi, kata pepatah, ada sebab, ada akibat. Nah, ini mungkin salah satu akibat ketidakpuasan masyarakat terhadap kinerja oknum aparat penegak hukum.
Misalnya, masyarkat menilai pihak kepolisian terlalu begitu “lamban” dalam menangani sebuah kasus. Meski sejatinya, korps Bhayangkara itu juga merupakan sekumpulan manusia yang jelas lemah dan tak sempurna. Sehingga, setiap ada kejahatan tak mudah dengan begitu saja pelakunya bisa segera dibekuk. Butuh proses, baik pengumpulan keterangan, bukti, sampai pada penyelidikan dan penyidikan. Usaha dan doa pun dilakukan, tapi kapan pelaku kejahatan dibekuk, itu yang susah ditentukan.
Masalahnya kemudian, muncul tudingan miring sebagai wujud ketidakpuasan terhadap kinerja oknum aparat kepolisian. Seperti, tudingan adanya “permainan” antara penjahat dengan oknum aparat. Aparat tak bekerja dengan benar, dan lain sebagainya. Belum lagi bila ada maling atau penjahat yang dibekuk, dan mendapatkan vonis yang menurut masyarakat ringan. Meski sejatinya hukuman penjara bukan hanya bertujuan menghukum. Tapi, juga salah satunya untuk membina sehingga bisa kembali ke jalan yang benar.
Namun, ketidakpuasan masyarakat sering memunculkan gerakan tak terpuji dengan menjadi algojo kala ada yang diduga penjahat berhasil ditangkap massa. Hal ini menuntut perhatian dari aparat penegak hukum. Aparat penegak hukum juga harus peka terhadap sosiologi masyarakat. Jangan sampai membuat masyarakat marah dan tak percaya kepada kinerja aparat penegak hukum. Bentuk kemarahan sosial seperti keroyok massa terhadap maling, itu sebagai wujud kemarahan sosial masyarakat. Bentuk ketidakpercayaan itu masyarakat berani main hakim sendiri. Di sinilah aparat penegak hukum perlu membangun kepercayaan masyarakat.

Menghukum Massa
Dapatkan pengeroyok maling dihukum? Pertanyaan ini mungkin tak pernah terlintas di pikiran massa yang suka mengeroyok maling. Meski dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), unsur “barang siapa” berarti mencakup semua orang. Dalam pasal 170 KUHP, disebutkan barang siapa dengan terang-terangan dan dengan tenaga bersama menggunakan kekerasan terhadap orang lain atau barang, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun enam bulan.
Bahkan, bila mengakibatkan luka berat diancam dengan hukuman penjara selama sembilan tahun. Dan, bila sampai mengakibatkan meninggal dunia, maka bisa dipenjara selama 12 tahun. Di sana, juga tak disebutkan pengeroyokan itu dilakukan terhadap orang gila, orang jahat, atau pun orang baik. Artinya, menurut mata hukum semua yang namanya orang punya kekuatan hukum yang sama. Kecuali, pelakunya gila. Tapi, kalau yang mengeroyok sehat, dalam kacamata hukum, hukuman bisa dijatuhkan.
Sebagai contoh kasus yang telah diusut polisi tentang pengeroyokan yang dilakukan oleh sebagian warga Kampung Bojong Koneng, Desa Telaga Murni, Cikarang Barat, Bekasi, Jawa Barat, bulan lalu. Pengeroyokan yang menyebabkan terduga maling berinisial HB, 29, tewas itu, kini masih diproses aparat kepolisian setempat. Polisi pun menetapkan tiga tersangka, yang berinisial BAJ, 24; SN, 35;, dan AIR, 40.
Para tersangka yang menyebabkan HB tewas itu, dijerat dengan pasal 170 ayat (2) KUHP dengan ancaman hukuman maksimal 12 tahun penjara, (okezone.com). Bedanya dengan kasus RS, HB dikeroyok sampai tewas. Sedangkan RS, masih selamat dengan sejumlah luka di tubuhnya. Penyebabnya, HB dihakimi warga karena diduga mencuri sepeda motor. Nah, bila massa pengeroyok HB bisa diproses secara hukum, bagaimana dengan massa pengeroyok RS? Di sinilah mungkin penulis perlu belajar lagi karena belum bisa menjawabnya. (Dimuat di Jawa Pos Radar Bromo, edisi 14 Desember 2014). (*)

0 komentar:

Posting Komentar