AMUK puluhan atau mungkin ratusan massa tak mampu dibendung. Minggu (7/12) malam lalu, lelaki berinisial Rs, 26, yang diduga maling sepeda motor tak berkutik. Bata, batu, bahkan batako menghantam tubuhnya. Rs pun tergolek.
Kemarahan
sejumlah warga di Desa Banjarsari, Kecamatan Sumberasih, Kabupaten Probolinggo,
itu seakan tak bisa lagi diredam. Sepeda motor yang dikendarai Rs pun tinggal
kerangka. Mungkin dalam benak mereka; Rs harus tamat.
Meski
Rs yang dikeroyok, di benak warga malam itu bisa saja bukan Rs. Massa juga bisa
dimungkinkan tak mengenal Rs. Mereka hanya tahu, maling. Karena Rs diduga maling,
warga pun menghakiminya. Kemarahan itu, diperkuat dengan sejumlah warga yang
mengaku ada tetangganya jadi korban begal. Bahkan, tetangga itu kini belum
sembuh karena dilukai begal. Tak heran, Banjarsari Mencekam. (Jawa Pos Radar Bromo, 8/12).
***
Ada
sebab, ada akibat. Begitu kata pepatah. Rs menjadi korban “pengadilan rakyat.” Pasti,
sebelum rakyat marah, ada sebab yang membuat emosi mereka terbakar. Yakni, aksi
begal yang tak hanya merampas motor, tapi juga melukai korbannya.
Menjadi
korban kejahatan memang mengjengkelkan. Apalagi, bila pelaku sampai melukai
korbannya. Tak heran bila ada “maling” tertangkap massa, bisa dipastikan akan babak
belur. Warga, meski belum pernah menjadi korban pencurian, dengan sukarela akan
memberinya hadiah. Paling tidak bogem mentah. Apalagi, mereka yang pernah
menjadi korban.
Bagi
mereka yang pernah menjadi korban pencurian, tapi tak sempat menggebuki akan
keluar doa kematian. Kata-kata kapok, mampus, matek, dan sebagainya, seakan keluar begitu saja. Tapi, bila mendengar
malingnya tidak mati, mereka akan menyayangkan.
Ya,
begitulah bentuk kemarahan sebagian masyarakat. Entah kalau ada korban yang
sabarnya kelas tinggi, mungkin tak akan demikian. Karena bagi orang yang sabar,
mendoakan musuh adalah lebih baik. Tapi, ini sungguh sangat sulit. Tak heran
bila setiap ada maling tertangkap massa, kebanyakan benjol-benjol karena
digebuki.
Sejatinya,
ada pelajaran berharga dalam setiap kejadian. Terutama, bagi aparat penegak
hukum. Baik itu kepolisian, kejaksaan, maupun para hakim di pengadilan negeri.
Sekali lagi, kata pepatah, ada sebab, ada akibat. Nah, ini mungkin salah satu akibat ketidakpuasan masyarakat
terhadap kinerja oknum aparat penegak hukum.
Misalnya,
masyarkat menilai pihak kepolisian terlalu begitu “lamban” dalam menangani
sebuah kasus. Meski sejatinya, korps Bhayangkara itu juga merupakan sekumpulan
manusia yang jelas lemah dan tak sempurna. Sehingga, setiap ada kejahatan tak
mudah dengan begitu saja pelakunya bisa segera dibekuk. Butuh proses, baik
pengumpulan keterangan, bukti, sampai pada penyelidikan dan penyidikan. Usaha
dan doa pun dilakukan, tapi kapan pelaku kejahatan dibekuk, itu yang susah
ditentukan.
Masalahnya
kemudian, muncul tudingan miring sebagai wujud ketidakpuasan terhadap kinerja oknum
aparat kepolisian. Seperti, tudingan adanya “permainan” antara penjahat dengan oknum
aparat. Aparat tak bekerja dengan benar, dan lain sebagainya. Belum lagi bila
ada maling atau penjahat yang dibekuk, dan mendapatkan vonis yang menurut
masyarakat ringan. Meski sejatinya hukuman penjara bukan hanya bertujuan
menghukum. Tapi, juga salah satunya untuk membina sehingga bisa kembali ke
jalan yang benar.
Namun,
ketidakpuasan masyarakat sering memunculkan gerakan tak terpuji dengan menjadi
algojo kala ada yang diduga penjahat berhasil ditangkap massa. Hal ini menuntut
perhatian dari aparat penegak hukum. Aparat penegak hukum juga harus peka
terhadap sosiologi masyarakat. Jangan sampai membuat masyarakat marah dan tak
percaya kepada kinerja aparat penegak hukum. Bentuk kemarahan sosial seperti
keroyok massa terhadap maling, itu sebagai wujud kemarahan sosial masyarakat.
Bentuk ketidakpercayaan itu masyarakat berani main hakim sendiri. Di sinilah
aparat penegak hukum perlu membangun kepercayaan masyarakat.
Menghukum Massa
Dapatkan
pengeroyok maling dihukum? Pertanyaan ini mungkin tak pernah terlintas di
pikiran massa yang suka mengeroyok maling. Meski dalam Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana (KUHP), unsur “barang siapa” berarti mencakup semua orang. Dalam
pasal 170 KUHP, disebutkan barang siapa
dengan terang-terangan dan dengan tenaga bersama menggunakan kekerasan terhadap
orang lain atau barang, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun
enam bulan.
Bahkan,
bila mengakibatkan luka berat diancam dengan hukuman penjara selama sembilan tahun.
Dan, bila sampai mengakibatkan meninggal dunia, maka bisa dipenjara selama 12
tahun. Di sana, juga tak
disebutkan pengeroyokan itu dilakukan terhadap orang gila, orang jahat, atau
pun orang baik. Artinya, menurut mata hukum semua yang namanya orang punya
kekuatan hukum yang sama. Kecuali, pelakunya gila. Tapi, kalau yang mengeroyok
sehat, dalam kacamata hukum, hukuman bisa dijatuhkan.
Sebagai
contoh kasus yang telah diusut polisi tentang pengeroyokan yang dilakukan oleh
sebagian warga Kampung Bojong Koneng, Desa Telaga Murni, Cikarang Barat,
Bekasi, Jawa Barat, bulan lalu. Pengeroyokan yang menyebabkan terduga maling
berinisial HB, 29, tewas itu, kini masih diproses aparat kepolisian setempat. Polisi
pun menetapkan tiga tersangka, yang berinisial BAJ, 24; SN, 35;, dan AIR, 40.
Para
tersangka yang menyebabkan HB tewas itu, dijerat dengan pasal 170 ayat (2) KUHP
dengan ancaman hukuman maksimal 12 tahun penjara, (okezone.com). Bedanya dengan kasus RS, HB dikeroyok sampai tewas. Sedangkan
RS, masih selamat dengan sejumlah luka di tubuhnya. Penyebabnya, HB dihakimi
warga karena diduga mencuri sepeda motor. Nah, bila massa pengeroyok HB
bisa diproses secara hukum, bagaimana dengan massa pengeroyok RS? Di sinilah
mungkin penulis perlu belajar lagi karena belum bisa menjawabnya. (Dimuat di Jawa Pos Radar Bromo, edisi 14
Desember 2014). (*)
0 komentar:
Posting Komentar