DIA terbangun dengan napas tersengal. Kaget. Dia duduk menekuk lutut tanpa melepas selimut yang menghangatkannya di pagi itu. Dia pandangi lelaki yang tak asing di matanya, duduk bertinggung di depan Dia. ...............................
Tatapan mata
lelaki itu aneh. Baru kali ini Dia menangkap pandangannya yang seperti itu. Dia
makin kaget ketika lelaki itu menyingkap selimut dan rok landungnya. Dengan
cekatakan, lelaki itu membuka celana dalam Dia. Basah. Sejenak diamati celana
dalam warna pink yang baru saja diambil dari selangkangan Dia. Sejurus
kemudian, ditusukkan jari tengahnya persis di lubang vagina Dia.
“Kamu keluar
lendir!”
Dia kaget. Tak
seperti biasa, keras suara dan tajam kata-katanya seakan memenuhi ruang
pendengarannya. Bingung. Dia tak mengerti ungkapan lelaki itu. Dia belum mampu
berkata-kata. Dia terus berusaha mencerna kalimat yang baru saja didengarnya.
“Saya
keputihan,” jawab Dia.
Lelaki itu
menggeleng. Tak percaya isi kata-kata yang diungkapkan Dia. Terus diamatinya
lendir di jari tengah tangan kanannya. Cukup diamati. Tak sekali pun lelaki itu
membau lendir yang dianggapnya sebercak sperma.
“Ini bukan
lendir keputihan. Ini sperma. Sperma siapa ini. Kamu telah berzina!”
Bak disambar
petir. Di pagi yang masih buta, Dia harus mendengar umpatan perbuatan yang tak
pernah dibayangkan akan lelaki itu katakan. Belum sempat menjawab, lelaki itu
meninggalkan Dia di ranjang bersama kebingungan dan
bayi mungilnya yang masih berusia 3
bulan.
Umpatan itu
mengingatkan Dia pada kejadian-kejadian janggal beberapa hari sebelumnya. Tiga
hari lalu, Dia diminta bersumpah atas keagungan Alquran. Dengan Alquran di atas
kepala, Dia diminta menjawab jujur pernah berzina atau tidak.
Dia yang
memang bukan wanita suci, sesuci Siti Maryam, mengaku jujur pernah bersentuhan
dengan lalaki lain selain suaminya. Itu pernah dilakukan sebelum bersuami,
sekitar sebelum 10 tahun lalu. Namun, persentuhan itu tak sampai membuat
selaput keperawanan Dia robek. “Kalau sebelum menikah, berpelukan saya pernah,
tapi kalau sampai zakarnya masuk, saya tidak pernah,” begitu kata Dia, sewaktu
disumpah Alquran.
Dia sadar
selama ini seakan ada polisi yang terus membuntuti kemana Dia bergerak.
Bagaimana di dapur kala memasak, begitu pula kala mencuci di sumur bersama dua
pembantu. Termasuk, gerak gerik orang-orang baru teman-teman lelaki yang
menudingnya berzina.
***
Di pagi yang
masih buta, keesokan harinya Dia harus mengetuk pintu rumah kedua orang tuanya.
Lelaki itu mengantarkan Dia pulang ke rumah di mana Dia dilahirkan. Dengan mata
sembab, Dia berusaha menyembunyikan kesedihan hatinya kepada kedua orang
tuanya, yang mengaggapnya aneh karena datang di pagi buta, sebelum azan Subuh
berkumandang. Meski sejatinya, Dia sudah sering pulang di pagi buta bersama
lelaki yang selama 10 tahun sesuka hatinya meniduri Dia atau tidak.
Bedanya,
pagi itu Dia hanya bertiga. Ada bayi mungilnya, Dia, dan
lelaki yang dipanggilnya, Papa. Empat anak dan dua asisten rumah tangganya,
atau yang lebih pas disebut pembantu, tak ikut. Padahal, selama ini dua pemuda
itu tak pernah absen ketika Dia dan lelakinya bepergian.
Di rumah mertuanya, lelaki itu masih sempat tidur dengan Dia. Lelaki itu
juga masih tetap pada tuduhannya, Dia berselingkuh dan berzina. Sederet
penjelasan untuk meyakinkan kebenaran tak berhasil. Lelaki itu terus menuduh.
Sejumlah pertanyaan diajukan Dia untuk memperjelas posisinya. Dia minta bukti.
Bukan hanya berdasar sebercak lendir yang disebut lelaki itu segumpal sperma.
Dia meminta saksi yang melihatnya berzina. Meski lelaki itu tahu,
menuduh berzina tak semudah mencolek vagina dan mendapati sperma. Menuduh
berzina harus ada minimal empat saksi lelaki terpercaya. Semuanya harus melihat
jelas zakar lalaki pezinah masuk vagina wanita pezinah. Baru hukuman rajam bisa
diterapkan. Tapi, semua itu tak pernah terjawab. Lelaki itu tetap bungkam siapa
saksi tuduhannya.
***
Surup. Dia
menutup pintu rumah orang tuanya. Dengan mata masih sembab, Lelaki itu meninggalkan
Dia kembali ke rumah asalnya. Dia ditinggal di rumah orang tuanya. Di mata Dia,
juga terlihat jelas air itu hendak tumpah. Sambil menggendong bocah mungilnya,
Dia seakan tak percaya dengan apa yang terjadi padanya. Segala fakta telah
diutarakan untuk menepis tuduhan. Semua tak mempan. Ibarat melempar bola kasti
ke tembok, bukti itu selalu memantul.
Dia menceritakan nasibnya pada keluarga lelaki itu. Semuanya, memihak
Dia. Catatan sama diberikan kepada Dia. Dia diminta sabar menghadapi apa yang
mereka sebut cobaan. Dia bercerita gamblang. Makin gamblang, Dia makin lega.
Lagi-lagi, saran yang didapat hanya sabar. Dia diminta sabar menghadapi apa
yang mereka sebut tuduhan ini hanyalah sebuah cobaan.
***
Lelaki itu kembali mendatangi Dia. Dia sempat bahagia melihatnya datang.
Dia berharap lelaki itu sadar tuduhannya salah. Salah sesalah-salahnya karena
tanpa dasar. Dengan senyum tersungging Dia menyambutnya. Dia berharap senyum
itu mampu membuka mata hatinya untuk memaafkan dan mengakui kesalahan tuduhannya.
Dibukakan pintu rumah, diciumnya punggung tangan lelaki itu. Namun, tak
ada senyum yang Dia terima. Mata lelaki itu masih nanar, memerah seakan masih
memendam amarah. Bukan maaf yang keluar. Lelaki itu terus mendesak Dia mengakui
kesalahannya. Berzina.
“Saya hanya butuh jawaban, iya. Kalau tidak, saya ceraikan kamu.”
Kalimat itu seakan terucap tanpa kendali. Dia tetap pada pendirinnya,
meski air mata tanpa terasa berlinang. Sesenggukan di kaki lelaki itu dengan
terus meminta maaf. Kalimat yang tak pernah terbayang diucapkan lelaki yang
telah memberinya tujuh anak. Dia tak bersalah. Tak ada pengakuan dari Dia atas
semua tuduhan lelaki itu. Dia menggeleng. Berusaha terus meyakinkan tak
melakukan perbuatan laknat.
Lalaki itu makin menjadi-jadi. Marah melihat Dia tak mau mengakui apa
yang dituduhkan. Sumpah serapah juga keluar. Kini, tak hanya tuduhan berzina
dengan seorang lelaki. Tuduhan-tuduhan berikutnya juga diterima Dia. Kini, Dia
juga dituduh berzina dengan dua lelaki. Juga dituduh mencuri celana lawan
zinanya. Dia makin limbung. Seakan tak kuat lagi menahan tubunya. Dia terbang.
***
“Kalau tak percaya, saya pasrah. Aku capai dituduh terus. Lebih baik aku
mati saja.”
“Kalimat itu yang aku dengar kali terakhir sebelum Dia melompat dari
lantai tiga rumah mertua dengan posisi kepala di bawah.”
“Lalu, apa lagi. Bukankah kamu mendorongnya hingga Dia jatuh karena tak
mau mengakui tuduhanmu?” bentak petugas dengan tiga balok di pundaknya.
“Aku tak menuduhnya. Aku melihat Dia berzina dengan dua pembantu di
rumah. Semua itu aku lihat dengan jelas dalam mimpi. Benar, aku lihat Dia
berzina. Berizina dengan dua laki-laki. Masuk, masuk, maasuk. Saya melihat
jelas dalam mimpi.”
“Gila, kamu.” Kata petugas itu sambil memerintah anak buahnya membawa
lelaki itu ke rumah sakit jiwa. (ind)
0 komentar:
Posting Komentar