PINTU kamarku menderit. Ku perhatikan seorang lelaki masuk kamarku tanpa permisi. Raut mukanya terlihat kuyu. Matanya cekung dengan lingkaran hitam. Badannya kurus, pendiriannya lunglai. Sungguh sangat tak menarik dipandang. ---------------------------
Tanpa
mengeluarkan kata-kata, pria itu merebahkan tubuhnya. Ia seakan tak
menghiraukan aku yang duduk memperhatikannya. Dipeluknya bantal guling
kesayanganku. Begitu roboh, pria yang ku kenal sejak masih di bangku SD itu tak
mengeluarkan kata-kata. Tapi, ia terlihat tak tenang. Kadang miring ke kanan,
balik lagi ke kiri, balik lagi ke kanan, ke kiri lagi, sungguh benar-benar
menganggu.
Entah
mengapa aku jadi terus memperhatikannya. Ku lihat ia berusaha menenggelamkan
wajahnya di balik bantal. Lamat-lamat ku dengar ia sesenggukan. Aku makin
heran. Lelaki jelek kok menangis. Ah, wajar, mungkin ia menyesali
kejelekannya, gumamku. Aku tersenyum sendiri.
Pria 23
tahun itu tiba-tiba duduk, seakan mengatahui aku sedang memperhatikannya. Aku
mencoba mendapatkan jawaban apa yang membuatnya menangis. Tak biasanya lelaki
kurus jelek itu menangis sejadi-jadinya. Apalagi, sampai menenggelamkan
wajahnya di balik bantal. Sayang, meski dicecar pertanyaan mengintrogasi, Zaki
tak menjawab. Ia tetap dalam kesedihan dan kembali merebahkan tubuhnya.
Di balik semua itu,
aku jadi berpikir sejatinya Zaki tak bersedih. Aku berpikir positif saja, Zaki
lagi membersihkan racun dalam tubuhnya. Sebab, katanya, racun dalam tubuh
bisa dikeluarkan melalui air mata ketika seseorang menangis. Namanya racun,
jelas berbahaya bagi kesehatan. Sehingga menangis baik untuk membersihkan racun
dalam tubuh dan setidaknya mampu menjaga kesehatan mata.
Atau, Zaki lagi
latihan menguatkan jiwanya. Mengeluarkan segala emosi negatif melalui tangisan lebih baik dari
memendamnya dalam hati. Bahkan ada yang bilang menangis tak ubahnya olahraga
perasaan. Sehingga suatu saat ketika berada di posisi serupa, hati bisa lebih
kuat dan tegar.
Mungkin habis menangis, Zaki bisa lebih lega seperti kebanyakan orang.
Sebab menangis bisa membuat tubuh mengeluarkan hormon endorfin yang bersifat
meredakan sakit dalam tubuh. Dengan menangis, tubuh dan pikiran jadi lebih
rileks.
Ku makin tak menghiraukan
Zaki ketika teringat fatwa teman yang mengatakan, menangis itu menyehatkan
jantung. Tapi, ku dengar Zaki sesenggukan seakan berusaha menahan tangisnya. Hem, aku hanya biarkan ia menangis
sambil menikmati ranjangku.
***
Kriing… bunyi jam weaker mengagetkanku. Jarum pendeknya
menunjuk angka tiga. Ku beranjak dari kursi, yang entah mengapa aku bisa
tertidur di sana. Ku ambil handuk, aku harus buru-buru karena pagi ini aku ada
janji dengan teman di luar kota.
Suara tangis masih
terdengar. Tapi, kali ini bukan dari atas ranjang kesayanganku. Zaki
sesenggukan di atas sajadah, membungkuk dengan meletakkan dahi ke lantai dan bertelekan dengan kedua
belah tangan. Aku pamit, tapi tak ada jawaban.
Biasa, bila ada masalah Zaki selalu menggunakan kamar kosku untuk menenangkan
diri.
Tapi, kali
ini tak seperti biasanya Zaki sampai menangis sejadi-jadinya meski sambil
sujud. Seakan ada beban yang sangat berat dan harus dipikulnya. “Laa ilaha illa anta subhaanaka inniy kuntu
minaz zhoolimiyn. (Tiada Tuhan melainkan Engkau! Maha Suci Engkau! Sesungguhnya daku ini
termasuk dari pada golongan orang yang zalim.” Kalimat penyesalan itu
terdengar jelas dari balik sujud Zaki. Langkahku terhenti, Aku jadi tertegun
dosa apa kiranya sampai membuat Zaki sesenggukan berkepanjangan.
“Ya Allah! Engkaulah
Tuhanku, Tiada Tuhan melainkan Engkau; Engkau yang menciptakan daku dan daku
adalah hamba-Mu. Dan sedaya mampuku, daku berpegang dengan janji dan sumpah
setiaku terhadap-Mu. Daku memohon perlindungan-Mu dari pada segala kejahatan
yang telah dilakukan; daku mengakui akan segala nikmat yang Engkau berikan
kepadaku dan daku mengakui akan dosa-dosaku. Maka ampunilah daku karena tiada yang mengampuni
dosa-dosa kecuali Engkau.”
Kalimat istighfar Zaki itu makin
menusuk relung hati. Pertanyaan demi pertanyaan terasa makin menumpuk di dada.
Tapi aku belum berani bertanya, dosa apa yang telah dilakukannya. Duduk bersila
dengan tangan menengadah, Zaki masih melanjutkan doa-doa tobat. Aku jadi
berpikir, Zaki yang selama ini rajin beribadah masih sebegitunya memohon
ampunan Tuhan. Aku, yang kadang lalai salat tak sampai sesenggukan mengakui
dosa.
“Ya Allah, Ya Tuhanku! Terimalah taubatku,
suci bersihkanlah segala dosaku dan kabulkan permohonanku. Sesungguhnya Engkau
Maha Pengampun lagi Maha Penyayang!” Zaki menutup doanya. Diamatinya kedua
telapak tangannya, sebelum mengusap mukanya. Zaki seakan menyelidik kondisi
setiap jari hingga ruas-ruas dan persendiannya. Terlihat, Zaki sangat menyesal.
Tanpa menunggunya meninggalkan sajadah, aku keluar kamar karena harus segera
berangkat ke luar kota.
***
Tak terasa
sudah tiga hari aku di Kota Kembang. Jalan-jalan dengan teman yang ku kenal di
pondok dulu dan kini kuliah di kota yang berkembang cukup modern ini. Ya, aku
dulu pernah tinggal di pesantren meski tak lama. Selepas SMA, aku melanjutkan
kuliah di luar pesantren bersama Zaki. Teman-teman yang lain juga begitu.
Termasuk kuliah di Kota Kembang, yang dikenal lebih modern.
Menelusuri
kehidupan malam di Kota Kembang, mengingatkanku akan dunia pesantren. Sungguh
jauh berbeda, berbanding terbalik sampai 180 derajat. Tempat hiburan keluarga
yang dikemas rumah karaoke, juga dilengkapi dengan servis esek-esek. Belum
lagi, tempat prostitusi yang seakan legal, bebas bertransaksi, dan memilih
perempuan yang akan menemani melepas syahwat. Masuk dunia
kampus di Kota
Kembang, seakan tak jauh beda. Pakaian
mini dengan penampilan sensual seakan menjadi penyejuk mata. Jelas mengundang berahi.
Ini sungguh berbeda dengan tempat Aku dan Zaki kuliah, yang jurusan syariah.
Perempuannya berjilbab, seakan tahu halal-haram.
Mungkin karena inilah, dulu kiai di pondok membekali kami dengan asma atau
wiritan-wiritan yang pantangannya berzina. Bila
berzina, akan mati setelah persendiannya terasa copot. Bila tak mendapat
ampunan Tuhan, ruas demi ruas persendiannya akan benar-benar copot dan membusuk
sebelum akhirnya mati. Jangankan sampai berzina, mendekati saja, misalnya berkhalwat dengan wanita bukan muhrimnya, badan akan terasa panas dan batin tak tenang. Kata kiai, berzina sangat dilarang dalam Islam. Jangankan melakukan,
mendekati saja dilarang. Dosa bagi pezina sangat besar, salatnya tak akan
diterima selama 40 tahun.
Melihat kehidupan di Kota kembang, termasuk ulah para mahasiswi itu, aku
jadi teringat dengan Zaki. Saban akhir pekan kala di kampus tak ada kegiatan, Zaki selalu bermain
ke Kota Kembang. Ia menyempatkan diri mengunjungi tunangannya yang kuliah di
sana. Aku berpikir, bagaimana Zaki tak akan bertobat sampai nangis-nangis
karena saban pekan melihat aurat mahasiswi yang mulus dan gratis.
***
Dilarang
melintas. Tulisan itu ada pada pita kuning yang menyegel pintu kamar kosku.
Mata terbelalak. Kenapa garis polisi sampai menempel pada pintu kamar kos yang
baru seminggu kutinggalkan. Aku tak mendapati Zaki.
***
“Dia
ditemukan tak bernyawa di kamar kos Anda. Tubuhnya lemas, persendiannya seperti
mau copot. Sehingga, petugas harus hati-hati mengangkatnya,” ujar petugas yang
meminta keteranganku untuk di-BAP.
“Dari kamar
korban, kami menemukan ini,” lanjut petugas itu sambil menunjukkan berbagai
barang yang ku ketahui milik Zaki. Dari tumpukan barang itu, ku lihat ada yang
ganjil. Ku temukan kondom yang di dalamnya terdapat cairan cukup kental.
“Dua minggu
lalu, Zaki ke Kota Kembang. Saya lihat dia bersama tunangannya menyewa kamar Hotel
Melati di seberang jalan depan kosku. Mungkin dia lupa, kita dulu di pondok
wajib mengamalkan Sunge Rajeh,” Bisik
seorang teman yang mendampingiku di kantor polisi. (Dipublikasikan di Jawa Pos Radar
Bromo, pada 29 Juni 2014)
0 komentar:
Posting Komentar