Rabu, 13 Agustus 2014

Sunge Rajeh


PINTU kamarku menderit. Ku perhatikan seorang lelaki masuk kamarku tanpa permisi. Raut mukanya terlihat kuyu. Matanya cekung dengan lingkaran hitam. Badannya kurus, pendiriannya lunglai. Sungguh sangat tak menarik dipandang. ---------------------------


Tanpa mengeluarkan kata-kata, pria itu merebahkan tubuhnya. Ia seakan tak menghiraukan aku yang duduk memperhatikannya. Dipeluknya bantal guling kesayanganku. Begitu roboh, pria yang ku kenal sejak masih di bangku SD itu tak mengeluarkan kata-kata. Tapi, ia terlihat tak tenang. Kadang miring ke kanan, balik lagi ke kiri, balik lagi ke kanan, ke kiri lagi, sungguh benar-benar menganggu.
Entah mengapa aku jadi terus memperhatikannya. Ku lihat ia berusaha menenggelamkan wajahnya di balik bantal. Lamat-lamat ku dengar ia sesenggukan. Aku makin heran. Lelaki jelek kok menangis. Ah, wajar, mungkin ia menyesali kejelekannya, gumamku. Aku tersenyum sendiri.
Pria 23 tahun itu tiba-tiba duduk, seakan mengatahui aku sedang memperhatikannya. Aku mencoba mendapatkan jawaban apa yang membuatnya menangis. Tak biasanya lelaki kurus jelek itu menangis sejadi-jadinya. Apalagi, sampai menenggelamkan wajahnya di balik bantal. Sayang, meski dicecar pertanyaan mengintrogasi, Zaki tak menjawab. Ia tetap dalam kesedihan dan kembali merebahkan tubuhnya.
Di balik semua itu, aku jadi berpikir sejatinya Zaki tak bersedih. Aku berpikir positif saja, Zaki lagi membersihkan racun dalam tubuhnya. Sebab, katanya, racun dalam tubuh bisa dikeluarkan melalui air mata ketika seseorang menangis. Namanya racun, jelas berbahaya bagi kesehatan. Sehingga menangis baik untuk membersihkan racun dalam tubuh dan setidaknya mampu menjaga kesehatan mata.
Atau, Zaki lagi latihan menguatkan jiwanya. Mengeluarkan segala emosi negatif melalui tangisan lebih baik dari memendamnya dalam hati. Bahkan ada yang bilang menangis tak ubahnya olahraga perasaan. Sehingga suatu saat ketika berada di posisi serupa, hati bisa lebih kuat dan tegar.
Mungkin habis menangis, Zaki bisa lebih lega seperti kebanyakan orang. Sebab menangis bisa membuat tubuh mengeluarkan hormon endorfin yang bersifat meredakan sakit dalam tubuh. Dengan menangis, tubuh dan pikiran jadi lebih rileks.
Ku makin tak menghiraukan Zaki ketika teringat fatwa teman yang mengatakan, menangis itu menyehatkan jantung. Tapi, ku dengar Zaki sesenggukan seakan berusaha menahan tangisnya. Hem, aku hanya biarkan ia menangis sambil menikmati ranjangku.

***
Kriing… bunyi jam weaker mengagetkanku. Jarum pendeknya menunjuk angka tiga. Ku beranjak dari kursi, yang entah mengapa aku bisa tertidur di sana. Ku ambil handuk, aku harus buru-buru karena pagi ini aku ada janji dengan teman di luar kota.
Suara tangis masih terdengar. Tapi, kali ini bukan dari atas ranjang kesayanganku. Zaki sesenggukan di atas sajadah, membungkuk dengan meletakkan dahi ke lantai dan bertelekan dengan kedua belah tangan. Aku pamit, tapi tak ada jawaban. Biasa, bila ada masalah Zaki selalu menggunakan kamar kosku untuk menenangkan diri.
Tapi, kali ini tak seperti biasanya Zaki sampai menangis sejadi-jadinya meski sambil sujud. Seakan ada beban yang sangat berat dan harus dipikulnya. “Laa ilaha illa anta subhaanaka inniy kuntu minaz zhoolimiyn. (Tiada Tuhan melainkan Engkau! Maha Suci Engkau! Sesungguhnya daku ini termasuk dari pada golongan orang yang zalim.” Kalimat penyesalan itu terdengar jelas dari balik sujud Zaki. Langkahku terhenti, Aku jadi tertegun dosa apa kiranya sampai membuat Zaki sesenggukan berkepanjangan.
“Ya Allah! Engkaulah Tuhanku, Tiada Tuhan melainkan Engkau; Engkau yang menciptakan daku dan daku adalah hamba-Mu. Dan sedaya mampuku, daku berpegang dengan janji dan sumpah setiaku terhadap-Mu. Daku memohon perlindungan-Mu dari pada segala kejahatan yang telah dilakukan; daku mengakui akan segala nikmat yang Engkau berikan kepadaku dan daku mengakui akan dosa-dosaku. Maka ampunilah daku karena tiada yang mengampuni dosa-dosa kecuali Engkau.”
Kalimat istighfar Zaki itu makin menusuk relung hati. Pertanyaan demi pertanyaan terasa makin menumpuk di dada. Tapi aku belum berani bertanya, dosa apa yang telah dilakukannya. Duduk bersila dengan tangan menengadah, Zaki masih melanjutkan doa-doa tobat. Aku jadi berpikir, Zaki yang selama ini rajin beribadah masih sebegitunya memohon ampunan Tuhan. Aku, yang kadang lalai salat tak sampai sesenggukan mengakui dosa.
“Ya Allah, Ya Tuhanku! Terimalah taubatku, suci bersihkanlah segala dosaku dan kabulkan permohonanku. Sesungguhnya Engkau Maha Pengampun lagi Maha Penyayang!” Zaki menutup doanya. Diamatinya kedua telapak tangannya, sebelum mengusap mukanya. Zaki seakan menyelidik kondisi setiap jari hingga ruas-ruas dan persendiannya. Terlihat, Zaki sangat menyesal. Tanpa menunggunya meninggalkan sajadah, aku keluar kamar karena harus segera berangkat ke luar kota.

***
Tak terasa sudah tiga hari aku di Kota Kembang. Jalan-jalan dengan teman yang ku kenal di pondok dulu dan kini kuliah di kota yang berkembang cukup modern ini. Ya, aku dulu pernah tinggal di pesantren meski tak lama. Selepas SMA, aku melanjutkan kuliah di luar pesantren bersama Zaki. Teman-teman yang lain juga begitu. Termasuk kuliah di Kota Kembang, yang dikenal lebih modern.
Menelusuri kehidupan malam di Kota Kembang, mengingatkanku akan dunia pesantren. Sungguh jauh berbeda, berbanding terbalik sampai 180 derajat. Tempat hiburan keluarga yang dikemas rumah karaoke, juga dilengkapi dengan servis esek-esek. Belum lagi, tempat prostitusi yang seakan legal, bebas bertransaksi, dan memilih perempuan yang akan menemani melepas syahwat. Masuk dunia kampus di Kota Kembang, seakan tak jauh beda. Pakaian mini dengan penampilan sensual seakan menjadi penyejuk mata. Jelas mengundang berahi. Ini sungguh berbeda dengan tempat Aku dan Zaki kuliah, yang jurusan syariah. Perempuannya berjilbab, seakan tahu halal-haram.
Mungkin karena inilah, dulu kiai di pondok membekali kami dengan asma atau wiritan-wiritan yang pantangannya berzina. Bila berzina, akan mati setelah persendiannya terasa copot. Bila tak mendapat ampunan Tuhan, ruas demi ruas persendiannya akan benar-benar copot dan membusuk sebelum akhirnya mati. Jangankan sampai berzina, mendekati saja, misalnya berkhalwat dengan wanita bukan muhrimnya, badan akan terasa panas dan batin tak tenang. Kata kiai, berzina sangat dilarang dalam Islam. Jangankan melakukan, mendekati saja dilarang. Dosa bagi pezina sangat besar, salatnya tak akan diterima selama 40 tahun.
Melihat kehidupan di Kota kembang, termasuk ulah para mahasiswi itu, aku jadi teringat dengan Zaki. Saban akhir pekan kala di kampus tak ada kegiatan, Zaki selalu bermain ke Kota Kembang. Ia menyempatkan diri mengunjungi tunangannya yang kuliah di sana. Aku berpikir, bagaimana Zaki tak akan bertobat sampai nangis-nangis karena saban pekan melihat aurat mahasiswi yang mulus dan gratis.
***
Dilarang melintas. Tulisan itu ada pada pita kuning yang menyegel pintu kamar kosku. Mata terbelalak. Kenapa garis polisi sampai menempel pada pintu kamar kos yang baru seminggu kutinggalkan. Aku tak mendapati Zaki.
***
“Dia ditemukan tak bernyawa di kamar kos Anda. Tubuhnya lemas, persendiannya seperti mau copot. Sehingga, petugas harus hati-hati mengangkatnya,” ujar petugas yang meminta keteranganku untuk di-BAP.
“Dari kamar korban, kami menemukan ini,” lanjut petugas itu sambil menunjukkan berbagai barang yang ku ketahui milik Zaki. Dari tumpukan barang itu, ku lihat ada yang ganjil. Ku temukan kondom yang di dalamnya terdapat cairan cukup kental.
“Dua minggu lalu, Zaki ke Kota Kembang. Saya lihat dia bersama tunangannya menyewa kamar Hotel Melati di seberang jalan depan kosku. Mungkin dia lupa, kita dulu di pondok wajib mengamalkan Sunge Rajeh,” Bisik seorang teman yang mendampingiku di kantor polisi. (Dipublikasikan di Jawa Pos Radar Bromo, pada 29 Juni 2014)

0 komentar:

Posting Komentar