“Saya sudah banyak membaca buku panduan tentang menulis. Bahkan, sudah sering ikut pelatihan atau seminar tetang menulis. Tapi, hasrat untuk mempublikasikan tulisan di media masa tetap jadi sebuah impian. Karena saya belum satu pun menghasilkan tulisan.”
------------------------------------------
KALIMAT di atas terucap dari lisan
seorang gadis cantik sekira setahun lalu. Tanpa sungkan ia bercerita tentang
pengalaman dan keinginannya untuk menjadi penulis. Bukan penulis buku, layaknya
Adreas Hirata yang sudah punya seabarek novel best seller. Tapi, sebatas menulis artikel atau karya fiksi dengan
selembar dua lembar kertas saja. Tapi, ia tak mampu.
Sejatinya,
kesulitan menerapkan ilmu tulis menulis ini tak hanya dialami seorang teman
yang memang berkuliah di jurusan komunikasi. Tapi, permasalah lain juga dialami
para sarjana lainnya. Misalnya, berapa banyak sarjana ekonomi yang masih hidup
miskin. Bahkan, untuk memenuhi kebutuhan keluarganya masih belum bisa maksimal.
Termasuk, berapa banyak sarjana pendidikan tak mampu mendidik, sarjana hukum
malah dihukum.
Sebaliknya,
ada orang yang cuma tamatan SD malah sukses sebagai pengusaha besar. Tak pernah
mengeyam bangku kuliah, pendidikan atau pun hukum, tapi aman dari kejaran
aparat penegak hukum. Bahkan, mampu menyekolahkan anaknya sampai tamat
perguruan tinggi.
Lalu,
masalahnya apa? Masalahnya, ada pada teori. Manusia pertama tak mau bertindak
karena terlalu keyang dengan teori, sedangkan manusia kedua, lebih memilih
langsung bertindak ketika punya ide. Manusia kedua ini mengamalkan betul
istilah experience is the best teacher.
Dia lebih memilih berguru para pengalaman, dibanding literatur.
Nah,
kemampuan menulis juga tak cukup hanya dengan mendalami teori. Kunci utamanya
ada pada keberanian mencoba. Makin gencar mencoba, maka Anda akan terlatih
untuk menulis. Ini tak jauh beda dengan kemampuan lainnya, misalnya Anda ingin
bisa berenang. Setebal apa pun buku yang Anda baca tentang berenang, bila Anda
tetap di balik meja, maka Anda tak akan pernah bisa berenang. Begitu juga
dengan kemampuan bersepeda, jangan hanya melihat dan membaca teori, tapi
langsung saja naiki sepedanya. Insya
Allah Anda akan bisa, meski harus berkali-kali jatuh.
Ilmu
tanpa amaliah ibarat pohon yang tak berbuah. Tak usah heran bila Anda menemukan
seseorang yang punya keinginan besar hendak jadi penulis, tapi sampai kini tak
juga terealisasi. Itu, karena dia berhenti sebatas pada pemahaman teoritis.
Man jadda wa jada. Kalau
Anda bersungguh-sungguh ingin jadi penulis handal, maka perbanyaklah praktik
menulis. Artinya, menulislah sembari belajar. Dengan cara itu, Insya Allah pelan-pelan Anda akan mengetahui apa saja kelemahan
tulisan Anda.
Namanya
belajar, wajar bila di masa-masa awal ada kekurangan. Memangnya ada manusia
yang begitu belajar, bisa langsung fasih? Siapa pun orangnya, bila masih dalam
tahap belajar pasti dihinggapi rasa ragu. Kecuali orang yang sombong. Bila Anda
mau belajar menulis, menulislah, jangan sampai takut salah. Bila untuk mencoba
saja sudah tak punya keberanian, bagaimana mungkin bisa jadi penulis.
Padahal,
diketahui, teori itu muncul belakangan setelah ada karya yang lahir dari hasil
praktik. Jadi, untuk apa kita harus terpaku pada batasan‑batasan yang dibuat
oleh sebuah teori. Apalagi menulis itu sangat erat kaitannya dengan masalah
kreativitas. Dan, dalam dunia kreativitas tidak ada hal yang bersifat baku.
Selalu terbuka peluang untuk keluar dari pakem.
Contohnya,
novel Laskar Pelangi karya Andreas Hirata.
Oleh sebagian kalangan dinilai memiliki beberapa kelemahan, seperti alur yang
longgar, logika anak kecil (Lintang) yang dipaksakan berpikiran dewasa sehingga
terkesan terlalu mengada‑ada, dll. Kendati tak luput dari kritikan tajam, toh
novel ini mendapat sambutan hangat dari masyarakat luas. Meski suatu kali,
Andreas sendiri pernah mengakui secara terus terang bahwa dia masih
bermasalah dengan EYD (Ejaan Yang Disempurnakan). (dari berbagai sumber/ind)
0 komentar:
Posting Komentar