Minggu, 13 April 2014

Mengapa Tak Bisa Menulis?



 

“Saya sudah banyak membaca buku panduan tentang menulis. Bahkan, sudah sering ikut pelatihan atau seminar tetang menulis. Tapi, hasrat untuk mempublikasikan tulisan di media masa tetap jadi sebuah impian. Karena saya belum satu pun menghasilkan tulisan.”


------------------------------------------

KALIMAT di atas terucap dari lisan seorang gadis cantik sekira setahun lalu. Tanpa sungkan ia bercerita tentang pengalaman dan keinginannya untuk menjadi penulis. Bukan penulis buku, layaknya Adreas Hirata yang sudah punya seabarek novel best seller. Tapi, sebatas menulis artikel atau karya fiksi dengan selembar dua lembar kertas saja. Tapi, ia tak mampu.
Sejatinya, kesulitan menerapkan ilmu tulis menulis ini tak hanya dialami seorang teman yang memang berkuliah di jurusan komunikasi. Tapi, permasalah lain juga dialami para sarjana lainnya. Misalnya, berapa banyak sarjana ekonomi yang masih hidup miskin. Bahkan, untuk memenuhi kebutuhan keluarganya masih belum bisa maksimal. Termasuk, berapa banyak sarjana pendidikan tak mampu mendidik, sarjana hukum malah dihukum.
Sebaliknya, ada orang yang cuma tamatan SD malah sukses sebagai pengusaha besar. Tak pernah mengeyam bangku kuliah, pendidikan atau pun hukum, tapi aman dari kejaran aparat penegak hukum. Bahkan, mampu menyekolahkan anaknya sampai tamat perguruan tinggi.
Lalu, masalahnya apa? Masalahnya, ada pada teori. Manusia pertama tak mau bertindak karena terlalu keyang dengan teori, sedangkan manusia kedua, lebih memilih langsung bertindak ketika punya ide. Manusia kedua ini mengamalkan betul istilah experience is the best teacher. Dia lebih memilih berguru para pengalaman, dibanding literatur.
Nah, kemampuan menulis juga tak cukup hanya dengan mendalami teori. Kunci utamanya ada pada keberanian mencoba. Makin gencar mencoba, maka Anda akan terlatih untuk menulis. Ini tak jauh beda dengan kemampuan lainnya, misalnya Anda ingin bisa berenang. Setebal apa pun buku yang Anda baca tentang berenang, bila Anda tetap di balik meja, maka Anda tak akan pernah bisa berenang. Begitu juga dengan kemampuan bersepeda, jangan hanya melihat dan membaca teori, tapi langsung saja naiki sepedanya. Insya Allah Anda akan bisa, meski harus berkali-kali jatuh.
Ilmu tanpa amaliah ibarat pohon yang tak berbuah. Tak usah heran bila Anda menemukan seseorang yang punya keinginan besar hendak jadi penulis, tapi sampai kini tak juga terealisasi. Itu, karena dia berhenti sebatas pada pemahaman teoritis.
Man jadda wa jada. Kalau Anda bersungguh-sungguh ingin jadi penulis handal, maka perbanyaklah praktik menulis. Artinya, menulislah sembari belajar. Dengan cara itu, Insya Allah  pelan-pelan Anda akan mengetahui apa saja kelemahan tulisan Anda.
Namanya belajar, wajar bila di masa-masa awal ada kekurangan. Memangnya ada manusia yang begitu belajar, bisa langsung fasih? Siapa pun orangnya, bila masih dalam tahap belajar pasti dihinggapi rasa ragu. Kecuali orang yang sombong. Bila Anda mau belajar menulis, menulislah, jangan sampai takut salah. Bila untuk mencoba saja sudah tak punya keberanian, bagaimana mungkin bisa jadi penulis.
Padahal, diketahui, teori itu muncul belakangan setelah ada karya yang lahir dari hasil praktik. Jadi, untuk apa kita harus terpaku pada batasan‑batasan yang dibuat oleh sebuah teori. Apalagi menulis itu sangat erat kaitannya dengan masalah kreativitas. Dan, dalam dunia kreativitas tidak ada hal yang bersifat baku. Selalu terbuka peluang untuk keluar dari pakem.
Contohnya, novel Laskar Pelangi karya Andreas Hirata. Oleh sebagian kalangan dinilai memiliki beberapa kelemahan, seperti alur yang longgar, logika anak kecil (Lintang) yang dipaksakan berpikiran dewasa sehingga terkesan terlalu mengada‑ada, dll. Kendati tak luput dari kritikan tajam, toh novel ini mendapat sambutan hangat dari masyarakat luas. Meski suatu kali, Andreas sendiri pernah mengakui secara terus terang  bahwa dia masih bermasalah dengan EYD (Ejaan Yang Disempurnakan). (dari berbagai sumber/ind)

0 komentar:

Posting Komentar