“Saya ingin menjadikan lingkungan pendidikan sebagai zona kejujuran, dan orang akan mau jujur kalau mereka dipercaya akan berbuat jujur." (Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI Anies Baswedan, jpnn.com, Sabtu, 17 Januari 2015, 07:06:00)
MULAI besok (Senin, 13 April 2015), seluruh siswa SMA sederajat
senusantara, akan menjalani ujian nasional (unas). Tak terkecuali di wilayah
edar Jawa Pos Radar Bromo
(Probolinggo dan Pasuruan). Tahun lalu, nilai unas menjadi syarat utama
kelulusan siswa. Tahun ini, unas berbeda dengan tahun sebelumnya. Kini, kelulusan
siswa sepenuhnya ditentukan pihak sekolah dengan melihat nilai rapor dan nilai
ujian sekolah.
Dalam hal ini, pemerintah memberikan kepercayaan penuh kepada sekolah untuk
meluluskan atau tidak meluluskan peserta didiknya. Di samping itu, siswa yang
memiliki nilai unas rendah, masih bisa memperbaiki di tahun berikutnya. Melalui
metode ini, diharapkan mengubah perilaku negatif siswa dan kecurangan dalam
unas. Seperti, jual beli kunci jawaban unas atau apapun bentuknya.
Namun, yang patut menjadi perhatian, nilai unas 2015 dipakai untuk
pemetaan kompetensi siswa, sekolah, hingga pemerintah daerah. Di sinilah masih
ada “beban” bagi pemerintah daerah, sekolah, dan siswa. Secara tidak langsung,
mereka juga masih dituntut mendapatkan nilai sebaik-baiknya. Bila nilainya
kurang memuaskan, di peta, mereka juga bisa “masuk” golongan sekolah dengan
nilai kurang memuaskan.
Namun, di balik semua itu, ada tujuan mulia pemerintah pusat tak menjadikan
nilai unas sebagai syarat kelulusan. Intinya, tak mau menjadikan unas “seram”,
seperti selama ini yang sangat ditakutkan para siswa, bahkan para wali murid.
Sehingga, segala bentuk yang “menakutkan” ditiadakan. Seperti, nilai unas
menjadi syarat kelulusan, penjagaan ketat aparat kepolisian di sekolah, sampai
tak lagi dijaga tim pengawas independen.
Dalam unas kali ini, pemerintah benar-benar telah percaya kepada
setiap lembaga pendidikan. Tapi, benarkah dengan unas semacam ini akan membuat
pihak sekolah dan siswa berlaku jujur? Inilah yang belum bisa dipastikan.
Sebab, setiap manusia pasti mempunyai ambisi untuk mendapatkan nilai yang baik.
Mendapat nilai yang memuaskan, meski kadang dilakukan dengan cara-cara haram.
Nilai unas memang tak menjadi penentu kelulusan, tapi lewat nilai unas
kredibitas dan nama baik sebuah lembaga pendidikan dipertaruhkan. Termasuk, nama
baik guru, bahkan nama baik siswa. Apalagi, rasanya tidak ada manusia di dunia
ini yang tak senang dipuji. Baik secara langsung maupun tidak. Bedanya, mungkin
hanya tanggapannya terhadap pujian, ada yang bersyukur, ada yang biasa-biasa
saja, ada yang senang, ada yang bangga, dan ada pula overacting. Meski pujian tak jarang hanya basa-basi. Bahkan, bisa
jadi dengan maksud tertentu. Yang terakhir ini mungkin ditujukan bagi orang
yang memang gila hormat dan pujian.
Pujian
adalah cerminan dari perhatian yang diberikan kepada seseorang. Bisa karena
prestasi, bisa juga karena kelebihan yang dimiliki orang bersangkutan. Kelebihan
itu bisa berupa kesuksesan, kepintaran, kesalehan, kekayaan, kecantikan
atau ketampanan, dan lain sebagainya. Dalam dunia pendidikan, reward and
punishment atau pujian dan hukuman adalah hal biasa. Misalnya, pujian dan
penghargaan diberikan kepada mereka yang berbuat baik, yang berhasil meraih
prestasi. Sedangkan, hukuman diberikan kepada yang berbuat salah atau melanggar
aturan.
Penulis menilai, dalam pelaksanaan unas masih bisa saja terjadi
kecurangan. Misalnya, kepala sekolah tak mau sekolahnya masuk zona tak aman karena
nilai unas-nya jelek. Begitu juga dengan para guru selaku pendidik. Namanya
juga tak mau disebut-sebut kala nilai siswanya kurang bisa diandalkan. Bagi
siswa, juga tak mau dicap sebagai siswa tak mampu memberikan nilai bagus bagi
sekolahnya. Tak mampu mempertahankan atau mengangkat nama baik sekolah. Apalagi,
bagi sekolah yang selama ini selalu meraih nilai unas yang bagus, bahkan
istimewa.
Apalagi, meski kini nilai unas tak lagi menjadi penentu kelulusan,
masih beredar “isu” adanya jual beli kunci jawaban unas. Padahal, harganya juga
mahal. Bila benar, ada yang menyebut harga sepaket soal unas Rp 15 juta. Ada
juga yang menyebut Rp 200 ribu per mata pelajaran. Tujuannya, kini bukan lagi
mengejar lulus, tapi menjaga “nama baik” sekolah. Namun, semoga saja semua itu
hanya isu. Tapi, bila ini benar, pemeritah pusat harus kembali mencari pola
bagaimana agar unas benar-benar jujur, seperti diharapkan Menteri Pendidikan
dan Kebudayaan Anies Baswedan, dalam kutipan di atas. Karenanya, di sinilah kejujuran para kaum terdidik -kepala sekolah,
guru, dan murid diuji. Semoga lulus! Dipublikasikan di Jawa Pos Radar Bromo, pada
Minggu 12 April 2015. (ind)






0 komentar:
Posting Komentar