Minggu, 12 April 2015

Unas, Menguji Kejujuran Kaum Terdidik

“Saya ingin menjadikan lingkungan pendidikan sebagai zona kejujuran, dan orang akan mau jujur kalau mereka dipercaya akan berbuat jujur." (Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI Anies Baswedan, jpnn.com, Sabtu, 17 Januari 2015, 07:06:00)


MULAI besok (Senin, 13 April 2015), seluruh siswa SMA sederajat senusantara, akan menjalani ujian nasional (unas). Tak terkecuali di wilayah edar Jawa Pos Radar Bromo (Probolinggo dan Pasuruan). Tahun lalu, nilai unas menjadi syarat utama kelulusan siswa. Tahun ini, unas berbeda dengan tahun sebelumnya. Kini, kelulusan siswa sepenuhnya ditentukan pihak sekolah dengan melihat nilai rapor dan nilai ujian sekolah.
Dalam hal ini, pemerintah memberikan kepercayaan penuh kepada sekolah untuk meluluskan atau tidak meluluskan peserta didiknya. Di samping itu, siswa yang memiliki nilai unas rendah, masih bisa memperbaiki di tahun berikutnya. Melalui metode ini, diharapkan mengubah perilaku negatif siswa dan kecurangan dalam unas. Seperti, jual beli kunci jawaban unas atau apapun bentuknya.
Namun, yang patut menjadi perhatian, nilai unas 2015 dipakai untuk pemetaan kompetensi siswa, sekolah, hingga pemerintah daerah. Di sinilah masih ada “beban” bagi pemerintah daerah, sekolah, dan siswa. Secara tidak langsung, mereka juga masih dituntut mendapatkan nilai sebaik-baiknya. Bila nilainya kurang memuaskan, di peta, mereka juga bisa “masuk” golongan sekolah dengan nilai kurang memuaskan.
Namun, di balik semua itu, ada tujuan mulia pemerintah pusat tak menjadikan nilai unas sebagai syarat kelulusan. Intinya, tak mau menjadikan unas “seram”, seperti selama ini yang sangat ditakutkan para siswa, bahkan para wali murid. Sehingga, segala bentuk yang “menakutkan” ditiadakan. Seperti, nilai unas menjadi syarat kelulusan, penjagaan ketat aparat kepolisian di sekolah, sampai tak lagi dijaga tim pengawas independen.
Dalam unas kali ini, pemerintah benar-benar telah percaya kepada setiap lembaga pendidikan. Tapi, benarkah dengan unas semacam ini akan membuat pihak sekolah dan siswa berlaku jujur? Inilah yang belum bisa dipastikan. Sebab, setiap manusia pasti mempunyai ambisi untuk mendapatkan nilai yang baik. Mendapat nilai yang memuaskan, meski kadang dilakukan dengan cara-cara haram.
Nilai unas memang tak menjadi penentu kelulusan, tapi lewat nilai unas kredibitas dan nama baik sebuah lembaga pendidikan dipertaruhkan. Termasuk, nama baik guru, bahkan nama baik siswa. Apalagi, rasanya tidak ada manusia di dunia ini yang tak senang dipuji. Baik secara langsung maupun tidak. Bedanya, mungkin hanya tanggapannya terhadap pujian, ada yang bersyukur, ada yang biasa-biasa saja, ada yang senang, ada yang bangga, dan ada pula overacting. Meski pujian tak jarang hanya basa-basi. Bahkan, bisa jadi dengan maksud tertentu. Yang terakhir ini mungkin ditujukan bagi orang yang memang gila hormat dan pujian.
Pujian adalah cerminan dari perhatian yang diberikan kepada seseorang. Bisa karena prestasi, bisa juga karena kelebihan yang dimiliki orang bersangkutan. Kelebihan itu bisa berupa  kesuksesan, kepintaran, kesalehan, kekayaan, kecantikan atau ketampanan, dan lain sebagainya. Dalam dunia pendidikan, reward and punishment atau pujian dan hukuman adalah hal biasa. Misalnya, pujian dan penghargaan diberikan kepada mereka yang berbuat baik, yang berhasil meraih prestasi. Sedangkan, hukuman diberikan kepada yang berbuat salah atau melanggar aturan.
Penulis menilai, dalam pelaksanaan unas masih bisa saja terjadi kecurangan. Misalnya, kepala sekolah tak mau sekolahnya masuk zona tak aman karena nilai unas-nya jelek. Begitu juga dengan para guru selaku pendidik. Namanya juga tak mau disebut-sebut kala nilai siswanya kurang bisa diandalkan. Bagi siswa, juga tak mau dicap sebagai siswa tak mampu memberikan nilai bagus bagi sekolahnya. Tak mampu mempertahankan atau mengangkat nama baik sekolah. Apalagi, bagi sekolah yang selama ini selalu meraih nilai unas yang bagus, bahkan istimewa.
Apalagi, meski kini nilai unas tak lagi menjadi penentu kelulusan, masih beredar “isu” adanya jual beli kunci jawaban unas. Padahal, harganya juga mahal. Bila benar, ada yang menyebut harga sepaket soal unas Rp 15 juta. Ada juga yang menyebut Rp 200 ribu per mata pelajaran. Tujuannya, kini bukan lagi mengejar lulus, tapi menjaga “nama baik” sekolah. Namun, semoga saja semua itu hanya isu. Tapi, bila ini benar, pemeritah pusat harus kembali mencari pola bagaimana agar unas benar-benar jujur, seperti diharapkan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Anies Baswedan, dalam kutipan di atas. Karenanya, di sinilah kejujuran para kaum terdidik -kepala sekolah, guru, dan murid diuji. Semoga lulus! Dipublikasikan di Jawa Pos Radar Bromo, pada Minggu 12 April 2015. (ind)

0 komentar:

Posting Komentar