DI sini,
sekitar tiga tahun lalu. Ya di sini, di Terminal Bayuangga, Kota Probolinggo. Di
terminal kebanggaan warga Kota Probolinggo, ini Dia menunggu bus yang akan
mengantarkannya ke kota kelahirannya, Bondowoso. Bukan, bukan mengatarkannya,
tapi bus yang bisa ditumpanginya sampai Kota Tape.
Jarum jam dinding itu terus
berdetak, memutari angka-angka yang sudah mulai memudar. Jemari Dia terus
menari di atas tuts keyboard, berpacu
dengan waktu. Dia berusaha keras pekerjaannya bisa selesai lebih cepat, sebelum
pukul 20.30 WIB. Dipelototi setiap kata, setiap kalimat dalam monitor komputernya.
Buru-buru, jelas bukan alasan tepat bila sampai ada kesalahan dalam
pekerjaannya.
Kali ini memang bukan berkejaran
dengan deadline pekerjaanya harus rampung
pukul 20.30 WIB. Deadline atasannya
masih lebih ringan satu jam dibanding deadline
yang ditetapkannya sendiri Kamis malam itu. Ya, Dia berusaha menyelesaikan pekerjaannya
lebih cepat, karena Dia tak mau ketinggalan bus yang akan ditumpanginya ke
Bondowoso.
Pekerjaan rampung. Jarum jam
menunjuk pukuk 20.20 WIB. Dia bergegas mencari satpam kantornya untuk
mengantarkannya ke terminal yang jaraknya sekitar 3 kilometer. Dengan motor
bututnya, si satpam berusaha menembus gelapnya malam perkotaan seakan mengerti
Dia harus mengejar bus terakhir.
Jarak 3.000 meter itu selesai
dalam waktu tak sampai 20 menit. Namun, Dia harus kecewa karena di bawah plang
Jurusan Bondowoso di Terminal Bayuangga, tak ada bus parkir. “Mungkin parkir di
luar,” gumamnya. Biasa, bila malam terminal ini lebih sepi. Sehingga, banyak
sopir yang enggan memarkir busnya di tempat yang sudah disediakan untuk menunggu
penumpang.
Dia berusaha mencari bus yang
diduganya parkir di paling selatan terminal, tempat biasanya banyak penumpang
menunggu. Di dekat para penjual makanan ringan, terutama gorengan. Namun, bus
yang dicarinya tidak ada. Saat itu tidak satu pun bus yang parkir di sana. “Barusan
berangkat. Sekitar 15 menit yang lalu,” ujar salah seorang petugas di terminal
ketika Dia mengkonfirmasi bus jurusan Bondowoso. “Itu bus terakhir yang lewat
Arak-arak, kalau lewat Jember nanti pukul 01.00,” lanjut petugas tersebut.
Dia melongo pada jam di telepon
genggamnya. Baru pukul 20.45 WIB. Dia menoleh kanan-kiri, tak mampu berkata
banyak. Balik kantor, jelas enggan. Ikut bus jurusan Situbondo, bisa jadi masih
harus nginap di Terminal Situbondo. Maklum, mini bus atau pun angkutan umum dari
Terminal Situbondo menuju Bondowoso, kadang juga masih harus menunggu Subuh untuk
berangkat. Itupun bila penumpang sudah penuh atau tidak ada penumpang lagi yang
akan naik.
Menit demi menit berlalu, Dia
memutuskan menunggu bus pukul 01.00 WIB, yang akan ditumpanginya ke Bondowoso melewati
Lumajang dan Jember. Dalam penantian, Dia masih berharap ada keajaiban di luar
jadwal dan kebiasaan yang berlaku di Terminal Bayuangga. Dia berharap masih ada
bus sisa yang mau berangkat ke Bondowoso, via Arak-Arak.
Rupanya doa dan harapan Dia tak
terjawab. Sampai bus putih dengan kombinasi biru datang pukul 01.00 WIB, bus
jurusan Bondowoso melalui Arak-arak tak kunjung muncul. Jadilah Dia harus
numpang bus jurusan Bondowoso dengan melintasi Kabupaten Lumajang dan Kabupaten
Jember.
Tak hanya Dia seorang. Sejumlah penumpang
juga menggunakan jasa bus ini dan sudah lama menunggu di Terminal Bayuangga. Seperti
biasa, mareka berebut naik bus lebih awal agar bisa mendapatkan tempat duduk.
Namun, bus yang berangkat dari Madura ini sudah penuh. Bahkan, ada sebagian
penumpang yang rela berdiri demi sampai ke tempat tujuan.
Bus syarat penumpang ini pun
meninggalkan Terminal Bayuangga, menyusuri jalan beraspal Probolinggo-Lumajang.
Para penumpang baru merogoh koceknya mengeluarkan rupiah ketika dihampiri
kondektur. Dari mereka tak ada yang memilih Bondowoso sebagai tujuan terakhir.
Rata-rata Jember.
Bus terus melaju, menyibak
dinginnya udara pagi yang masuk di sela-sela kaca bus yang sengaja tak ditutup
rapat agar bagian dalam bus tidak pengap. Sejurus kemudian, kenet bus menenteng
puluhan kursi plastik tanpa sandaran yang kemudian dibagikan pada penunpang
yang tak kebagian tempat duduk. “Kursi itu seharusnya tidak boleh. Bus ini
mestinya tidak boleh mengangkut penumpang melebihi jumlah kursi,” bisik salah
seorang penumpang kepada temannya di sebelahnya.
Namun, pagi itu tak ada penumpang
yang protes meski harus berdesak-desakan dalam bus yang lari bagai mengejar
waktu. Pagi itu para penumpang seakan terhipnotis oleh suara biduan dari
televisi yang terpasang di ujung depan bus. Memasuki Lumajang dan Jember, bus
ini mulai mengecer penumpang. Sejumlah penumpang turun lebih awal karena sudah
sampai tujuan. Sampai akhirnya, tersisa lima penumpang, termasuk Dia yang
bertahan sampai Terminal Bondowoso.
Tepat pukul 03.30 WIB, bus itu
parkir di Terminal Bondowoso dengan tetap ditemani suara biduan yang
mendendangkan Sakitnya Tuh di Sini. Lagu yang tak pernah berganti sejak Dia
naik di Terminal Bayuangga, Kota Probolinggo sampai turun di Terminal Bondowoso. Lagu
ini seakan menggambarkan sakitnya Dia, karena harus kembali menunggu angkutan sampai matahari terbit untuk ditumpanginya sampai rumah. Benar-benar, sakitnya tu di sini. (*)
0 komentar:
Posting Komentar