Kamis, 28 September 2017

Probolinggo-Bondowoso, Sakitnya Tuh di Sini

DI sini, sekitar tiga tahun lalu. Ya di sini, di Terminal Bayuangga, Kota Probolinggo. Di terminal kebanggaan warga Kota Probolinggo, ini Dia menunggu bus yang akan mengantarkannya ke kota kelahirannya, Bondowoso. Bukan, bukan mengatarkannya, tapi bus yang bisa ditumpanginya sampai Kota Tape.

Jarum jam dinding itu terus berdetak, memutari angka-angka yang sudah mulai memudar. Jemari Dia terus menari di atas tuts keyboard, berpacu dengan waktu. Dia berusaha keras pekerjaannya bisa selesai lebih cepat, sebelum pukul 20.30 WIB. Dipelototi setiap kata, setiap kalimat dalam monitor komputernya. Buru-buru, jelas bukan alasan tepat bila sampai ada kesalahan dalam pekerjaannya.
Kali ini memang bukan berkejaran dengan deadline pekerjaanya harus rampung pukul 20.30 WIB. Deadline atasannya masih lebih ringan satu jam dibanding deadline yang ditetapkannya sendiri Kamis malam itu. Ya, Dia berusaha menyelesaikan pekerjaannya lebih cepat, karena Dia tak mau ketinggalan bus yang akan ditumpanginya ke Bondowoso.
Pekerjaan rampung. Jarum jam menunjuk pukuk 20.20 WIB. Dia bergegas mencari satpam kantornya untuk mengantarkannya ke terminal yang jaraknya sekitar 3 kilometer. Dengan motor bututnya, si satpam berusaha menembus gelapnya malam perkotaan seakan mengerti Dia harus mengejar bus terakhir.
Jarak 3.000 meter itu selesai dalam waktu tak sampai 20 menit. Namun, Dia harus kecewa karena di bawah plang Jurusan Bondowoso di Terminal Bayuangga, tak ada bus parkir. “Mungkin parkir di luar,” gumamnya. Biasa, bila malam terminal ini lebih sepi. Sehingga, banyak sopir yang enggan memarkir busnya di tempat yang sudah disediakan untuk menunggu penumpang.
Dia berusaha mencari bus yang diduganya parkir di paling selatan terminal, tempat biasanya banyak penumpang menunggu. Di dekat para penjual makanan ringan, terutama gorengan. Namun, bus yang dicarinya tidak ada. Saat itu tidak satu pun bus yang parkir di sana. “Barusan berangkat. Sekitar 15 menit yang lalu,” ujar salah seorang petugas di terminal ketika Dia mengkonfirmasi bus jurusan Bondowoso. “Itu bus terakhir yang lewat Arak-arak, kalau lewat Jember nanti pukul 01.00,” lanjut petugas tersebut.
Dia melongo pada jam di telepon genggamnya. Baru pukul 20.45 WIB. Dia menoleh kanan-kiri, tak mampu berkata banyak. Balik kantor, jelas enggan. Ikut bus jurusan Situbondo, bisa jadi masih harus nginap di Terminal Situbondo. Maklum, mini bus atau pun angkutan umum dari Terminal Situbondo menuju Bondowoso, kadang juga masih harus menunggu Subuh untuk berangkat. Itupun bila penumpang sudah penuh atau tidak ada penumpang lagi yang akan naik.
Menit demi menit berlalu, Dia memutuskan menunggu bus pukul 01.00 WIB, yang akan ditumpanginya ke Bondowoso melewati Lumajang dan Jember. Dalam penantian, Dia masih berharap ada keajaiban di luar jadwal dan kebiasaan yang berlaku di Terminal Bayuangga. Dia berharap masih ada bus sisa yang mau berangkat ke Bondowoso, via Arak-Arak.
Rupanya doa dan harapan Dia tak terjawab. Sampai bus putih dengan kombinasi biru datang pukul 01.00 WIB, bus jurusan Bondowoso melalui Arak-arak tak kunjung muncul. Jadilah Dia harus numpang bus jurusan Bondowoso dengan melintasi Kabupaten Lumajang dan Kabupaten Jember.
Tak hanya Dia seorang. Sejumlah penumpang juga menggunakan jasa bus ini dan sudah lama menunggu di Terminal Bayuangga. Seperti biasa, mareka berebut naik bus lebih awal agar bisa mendapatkan tempat duduk. Namun, bus yang berangkat dari Madura ini sudah penuh. Bahkan, ada sebagian penumpang yang rela berdiri demi sampai ke tempat tujuan.
Bus syarat penumpang ini pun meninggalkan Terminal Bayuangga, menyusuri jalan beraspal Probolinggo-Lumajang. Para penumpang baru merogoh koceknya mengeluarkan rupiah ketika dihampiri kondektur. Dari mereka tak ada yang memilih Bondowoso sebagai tujuan terakhir. Rata-rata Jember.
Bus terus melaju, menyibak dinginnya udara pagi yang masuk di sela-sela kaca bus yang sengaja tak ditutup rapat agar bagian dalam bus tidak pengap. Sejurus kemudian, kenet bus menenteng puluhan kursi plastik tanpa sandaran yang kemudian dibagikan pada penunpang yang tak kebagian tempat duduk. “Kursi itu seharusnya tidak boleh. Bus ini mestinya tidak boleh mengangkut penumpang melebihi jumlah kursi,” bisik salah seorang penumpang kepada temannya di sebelahnya.
Namun, pagi itu tak ada penumpang yang protes meski harus berdesak-desakan dalam bus yang lari bagai mengejar waktu. Pagi itu para penumpang seakan terhipnotis oleh suara biduan dari televisi yang terpasang di ujung depan bus. Memasuki Lumajang dan Jember, bus ini mulai mengecer penumpang. Sejumlah penumpang turun lebih awal karena sudah sampai tujuan. Sampai akhirnya, tersisa lima penumpang, termasuk Dia yang bertahan sampai Terminal Bondowoso.
Tepat pukul 03.30 WIB, bus itu parkir di Terminal Bondowoso dengan tetap ditemani suara biduan yang mendendangkan Sakitnya Tuh di Sini. Lagu yang tak pernah berganti sejak Dia naik di Terminal Bayuangga, Kota Probolinggo sampai turun di Terminal Bondowoso. Lagu ini seakan menggambarkan sakitnya Dia, karena harus kembali menunggu angkutan sampai matahari terbit untuk ditumpanginya sampai rumah. Benar-benar, sakitnya tu di sini. (*)

0 komentar:

Posting Komentar