![]() |
KALIMAT itu diungkapkan K.H. Moh. Hasan Mutawakkil Alallah, S.H., M.M. kala
menjadi pembina apel Hari Santri Nasional (HSN), 22 Oktober 2015. Dalam apel
yang digelar di lapangan P5 Pesantren Zainul Hasan Genggong, Kecamatan
Pajarakan, Kabupaten Probolinggo, sekitar pukul 07.30 WIB itu, Kiai Mutawakkil
juga mengingatkan, para santri untuk tak lupa bersyukur dengan ditetapkannya 22
Oktober sebagai HSN.
Menurutnya,
ditetapkannya hari santri pada 22 Oktober tahun ini bertepatan dengan 9 Muharam
1437 Hijriah. Ini merupakan sunnatullah yang diatur oleh Allah tanpa disengaja
oleh manusia. Angka 9 juga banyak digunakan dalam lambang-lambang Nahdlatul
Ulama (NU). Seperti, jumlah bintang NU; wali songo, dan logo Pesantren Zainul
Hasan.
Tahun ini,
bertepatan dengan 22 Oktober 2015, paltaka HSN yang dikirap sejak (18/10) dari Tugu
Pahlawan Nasional di Surabaya, melewati Jalan Pantura dan 30 PC NU. Hari ini (22/10/2015),
sampai di tugu pahlawan dan akan diresmikan sebagai sosialisasi dan
implementasi dari SK Presiden Jokowi Nomor 22/2015 tentang HSN, tertanggal 22
Oktober 2015.
“Kalian yang
ikut upacara hari ini (22/10/2015) mengukir sejarah, pertama memperingati Hari
Santri Nasional di Pesantren Zainul Hasan Genggong. Ini adalah pengakuan secara
resmi bangsa ini, termasuk pemerintahan di dalamnya -setelah lama kita menunggu-
terhadap jasa dan perjuangan para santri, ulama, kiai, pahlawan komunitas
masyarakat pesantren, di dalam membela kehormatan dan kemerdekaan RI,” ujar
kiai yang juga ketua PW NU Jawa Timur tersebut.
Karenanya,
kata Kiai Mutawakkil, sebagai santri, wajib bersyukur kepada Allah. Sekaligus
menyampaikan apresiasi yang setinggi-tingginya kepada presiden yang telah
menjadikan 22 Oktober sebagai HSN, Sebab, 22 Oktober merupakan lahirnya fatwa
perjuangan atau resolusi jihad. “Sesuai jaji kampanye Presiden Jokowi, Hari
Santri Nasional ini akan ditetapkan tanggal 1 Muharam, tapi karena 1 Muharam
milik seluruh umat Islam, melalui seminar-seminar dan diskusi yang diadakan
oleh PW NU maupun PB NU dengan berbagai pihak, maka akhirnya yang tepat
dijadikan Hari Santri Nasional adalah 22 Oktober, sebagai hari lahirnya
resolusi jihad yang merupakan cikal bakal puncak pertempuran 10 November yang
merupakan pertempuran rakyat tanpa panglima. Dengan spirit ketuhanan, spirit uluhiyah,
dan cinta tanah air,” ujarnya.
Kenapa Hari
Santri 22 Oktober menjadi hari nasional, tapi bukan hari libur? “Karena ini, usai
apael, santri tetap bersekolah lagi, tapi khusus hari ini, sekolah dengan
sarungan, tanpa harus mengganti dengan celana. Demi menghormati hari santri,”
lanjut Kiai Mutawakkil.
Menurut Kiai
Mutawakkil, lahirnya resolusi jihad itu bermula, pada 70 tahun lalu, ada
indikasi bahwa agresi militer yang di dalamnya ada Belanda hendak mengungkit
kemerdekaan RI. Maka, Bung Karno dan Bung Hatta melakukan upaya diplomasi agar tentara
sekutu bekerja profesional hanya untuk mengurus dan membebaskan tahanan-tahanan
bukan mengutik status kemerdekaan RI. Tapi, sepertinya upaya Bung Karno tidak
dihiraukan oleh tentara sekutu. Maka, atas saran Panglima Besar Sudirman,
Sukarno-Hatta diminta mengirim utusan khusus kepada K.H Hasyim Asyari di Tebuireng. Tujuannya, meminta fatwa pada
Rais Akbar PB NU, bagaimana hukumnya berjihad melawan penjajah yang hendak
merebut kembali kemerdekaan RI yang baru sekitar sebulan diperoleh rakyat RI. “Tepatnya
Ramadan 17 Agustus 1945,” ujarnya.
Maka, fatwa
itu diminta bagaimana hukumnya melawan penjajah membela negara yang bukan negara
Islam, tapi negara Indonesia. Mendapat pertanyaan ini, Kiai Hasyim memanggil K.H
Wahab Hasbullah untuk mengundang konsul-konsul NU atau PC NU
se- Jawa-Madura dan tokoh-tokoh pesantren, ulama-ulama sepuh baik di Jawa-Maudura.
“Termasuk guru besar kita Almarhum Al Arif Billah K.H. Moh. Hasan untuk diminta
pendapat dan istikharahnya. Maka, anak-anakku, tanggal 21 Oktober ditetapkan
sebagai dimulainya hari bahtsul masail yang dihadiri ulama-ulama se Jawa-Madura,
di Bubutan Subaraya, (sekarang kantor PC NU Surabaya),” jelasnya.
Di sana
dimulai bahstul masail dipimpin Kiai Hasyim dilanjutkan oleh Kiai Wahab.
Tanggal 22 Oktober, 70 tahun yang lalu, para ulama se Jawa-Madura, kiai-kiai
sepuh pesantren di bawah pimpinan Rais Akbar PB NU, memproklamirkan fatwa
perjuangan, fatwa jihad yang intinya menyerukan kepada seluruh masyarakat yang
ada di Surabaya dan sekitarnya dengan radius 90 kilometer dari titik nol dari
garis depan untuk melawan dan mendandingi tantang agresi militer yang di
dalamnya ada Belanda. Meladeni mereka, bertempur melawan mereka, mati sahid
atau merdeka,” katanya.
Maka, spirit
resolusi jihad ini kemudian menimbulkan spirit keberanian bela negara, arek-arek Surabaya, dan santri-santri Jawa
Timur, yang kemudian membuahkan gelombang arus eroisme, rakyat Jawa Timur serta
komunitas santri dan para kiai untuk mealawan penjajah dengan semboyan mati
sahid atau merdeka. Karenanya, patut apabila 22 Oktober yang merupakan cikal
bakal perlawanan rakyat Jawa Timur atas rencana agresi militer sekutu untuk
merebut kembali kemerdekaan RI melalui penaklukan Kota Surabaya. Amarah para
santri, kiai, komandan-komandan sabilillah, hisbullah, mujahidin, dan TKR,
puncaknya terjadi pada 10 November 1945. Ini merupakan pertempuran rakyat tanpa
panglima dengan spirit ketuhanan dan cinta tanah air.
“Karena itu,
anak-anakku dengan diresmikannya 22 Oktober sebagai Hari Santri Nasional, bukan
personel, tapi ini hari pergerakan sebuah organisasi besar yang mempunyai
sejarah tinta emas dalam merebut kemerdekaan dan mempertahankan kemerdekaan RI.
Dan, 22 Oktober ini juga disetujui oleh kebanyakan partai-partai politik,
ormas-ormas keagamaan, semua setuju,” ujar Kiai Mutawakkil.
“Bagi yang
tidak setuju, siapa pun mereka, ingat, santri bagaikan singa yang sedang tidur,
jangan diganggu, mati berani mati, tunggang hilang tak hilang, musuh tidak
dicari-cari, bersua pantang dihindarkan. Itulah semboyan santri,” lanjutnya.
Memeperingati
22 Oktober, berarti berupaya agar bangsa ini menjadi bangsa yang besar. Sebab,
bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai para pahawan dan pejuangnya,
mempertahankan kultur, dan budayanya serta ada nasionalisme di dalamnya. Karena
itu, siapa pun yang tidak setuju dengan 22 Oktober sebagai HSN, berarti mereka
tidak memiliki nasionalisme yang kuat. Berarti mereka menginginkan agar bangsa
ini menjadi bangsa yang kerdil dan tidak menghargai para pejuang dan
pahlawannya.
Tentunya,
kita beharap agar jiwa jihad ini tetap melekat para santri. Baik santri yang masih
mondok atau yang sudah pulang kampung. Tapi, bukan jihad dengan mengangkat
senjata melawan penjajah, bagi yang di pesantren, jihad dalam artian mujahadah
untuk meningkatkan intelektualitas tanpa mengenyampingkan spiritualitas,
mempunyai akhlakul karimah, bertekad membangun negeri di semua line, dengan tetap mempunyai karakter
dan identits santri. Kedua, sebagai santri harus tetap mempunyai jiwa jihad,
jihad untuk mengentas kemiskinan agar rakyat kita hidup dalam kesejahteraan dan
keadilan. Agar merasa negera ini sudah merdeka dan memang merdeka. Jihad
memberantas kebodohan dengan jihad pendidikan, kita tetap punya semangat jihad
anti penjajah, kalau dulu ada agresi militer, penjajah kita sekarang adalah
terorisme, radikalisme, liberalisme, komunisme, dan semua ideologi yang
bertentangan dengan PB NU, P, pancasila; B, bhinnneka tungal ika; N, NKRI; dan
U, UUD 45.
“Ke pasar turi mencari makan, warungnya bersih
tampak asri. Hari santri telah diresmikan, terima kasih bapak jokowi. Ikan
sepat, ikan teri, dan wader jadi satu dalam masakan. Resolusi jihad santri dan
10 november jadi satu dalam ikatan,” ujar Kiai Mutawakkil, menutup amanatnya
dengan dua pantun. (ind)
0 komentar:
Posting Komentar