Senin, 26 Oktober 2015

Kiai Mutawakkil: Santri Harus Tetap Berjihad


“Bagi yang tidak setuju, siapa pun mereka, ingat, santri bagaikan singa yang sedang tidur, jangan diganggu. Mati berani mati, tunggang hilang tak hilang, musuh tidak dicari-cari, bersua pantang dihindarkan. Itulah semboyan santri.”

KALIMAT itu diungkapkan K.H. Moh. Hasan Mutawakkil Alallah, S.H., M.M. kala menjadi pembina apel Hari Santri Nasional (HSN), 22 Oktober 2015. Dalam apel yang digelar di lapangan P5 Pesantren Zainul Hasan Genggong, Kecamatan Pajarakan, Kabupaten Probolinggo, sekitar pukul 07.30 WIB itu, Kiai Mutawakkil juga mengingatkan, para santri untuk tak lupa bersyukur dengan ditetapkannya 22 Oktober sebagai HSN.     
Menurutnya, ditetapkannya hari santri pada 22 Oktober tahun ini bertepatan dengan 9 Muharam 1437 Hijriah. Ini merupakan sunnatullah yang diatur oleh Allah tanpa disengaja oleh manusia. Angka 9 juga banyak digunakan dalam lambang-lambang Nahdlatul Ulama (NU). Seperti, jumlah bintang NU; wali songo, dan logo Pesantren Zainul Hasan.  
Tahun ini, bertepatan dengan 22 Oktober 2015, paltaka HSN yang dikirap sejak (18/10) dari Tugu Pahlawan Nasional di Surabaya, melewati Jalan Pantura dan 30 PC NU. Hari ini (22/10/2015), sampai di tugu pahlawan dan akan diresmikan sebagai sosialisasi dan implementasi dari SK Presiden Jokowi Nomor 22/2015 tentang HSN, tertanggal 22 Oktober 2015.
“Kalian yang ikut upacara hari ini (22/10/2015) mengukir sejarah, pertama memperingati Hari Santri Nasional di Pesantren Zainul Hasan Genggong. Ini adalah pengakuan secara resmi bangsa ini, termasuk pemerintahan di dalamnya -setelah lama kita menunggu- terhadap jasa dan perjuangan para santri, ulama, kiai, pahlawan komunitas masyarakat pesantren, di dalam membela kehormatan dan kemerdekaan RI,” ujar kiai yang juga ketua PW NU Jawa Timur tersebut.
Karenanya, kata Kiai Mutawakkil, sebagai santri, wajib bersyukur kepada Allah. Sekaligus menyampaikan apresiasi yang setinggi-tingginya kepada presiden yang telah menjadikan 22 Oktober sebagai HSN, Sebab, 22 Oktober merupakan lahirnya fatwa perjuangan atau resolusi jihad. “Sesuai jaji kampanye Presiden Jokowi, Hari Santri Nasional ini akan ditetapkan tanggal 1 Muharam, tapi karena 1 Muharam milik seluruh umat Islam, melalui seminar-seminar dan diskusi yang diadakan oleh PW NU maupun PB NU dengan berbagai pihak, maka akhirnya yang tepat dijadikan Hari Santri Nasional adalah 22 Oktober, sebagai hari lahirnya resolusi jihad yang merupakan cikal bakal puncak pertempuran 10 November yang merupakan pertempuran rakyat tanpa panglima. Dengan spirit ketuhanan, spirit uluhiyah, dan cinta tanah air,” ujarnya.
Kenapa Hari Santri 22 Oktober menjadi hari nasional, tapi bukan hari libur? “Karena ini, usai apael, santri tetap bersekolah lagi, tapi khusus hari ini, sekolah dengan sarungan, tanpa harus mengganti dengan celana. Demi menghormati hari santri,” lanjut Kiai Mutawakkil.
Menurut Kiai Mutawakkil, lahirnya resolusi jihad itu bermula, pada 70 tahun lalu, ada indikasi bahwa agresi militer yang di dalamnya ada Belanda hendak mengungkit kemerdekaan RI. Maka, Bung Karno dan Bung Hatta melakukan upaya diplomasi agar tentara sekutu bekerja profesional hanya untuk mengurus dan membebaskan tahanan-tahanan bukan mengutik status kemerdekaan RI. Tapi, sepertinya upaya Bung Karno tidak dihiraukan oleh tentara sekutu. Maka, atas saran Panglima Besar Sudirman, Sukarno-Hatta diminta mengirim utusan khusus kepada K.H Hasyim Asyari  di Tebuireng. Tujuannya, meminta fatwa pada Rais Akbar PB NU, bagaimana hukumnya berjihad melawan penjajah yang hendak merebut kembali kemerdekaan RI yang baru sekitar sebulan diperoleh rakyat RI. “Tepatnya Ramadan 17 Agustus 1945,” ujarnya.
Maka, fatwa itu diminta bagaimana hukumnya melawan penjajah membela negara yang bukan negara Islam, tapi negara Indonesia. Mendapat pertanyaan ini, Kiai Hasyim memanggil K.H Wahab Hasbullah untuk mengundang konsul-konsul NU atau  PC  NU se- Jawa-Madura dan tokoh-tokoh pesantren, ulama-ulama sepuh baik di Jawa-Maudura. “Termasuk guru besar kita Almarhum Al Arif Billah K.H. Moh. Hasan untuk diminta pendapat dan istikharahnya. Maka, anak-anakku, tanggal 21 Oktober ditetapkan sebagai dimulainya hari bahtsul masail yang dihadiri ulama-ulama se Jawa-Madura, di Bubutan Subaraya, (sekarang kantor PC NU Surabaya),” jelasnya.
Di sana dimulai bahstul masail dipimpin Kiai Hasyim dilanjutkan oleh Kiai Wahab. Tanggal 22 Oktober, 70 tahun yang lalu, para ulama se Jawa-Madura, kiai-kiai sepuh pesantren di bawah pimpinan Rais Akbar PB NU, memproklamirkan fatwa perjuangan, fatwa jihad yang intinya menyerukan kepada seluruh masyarakat yang ada di Surabaya dan sekitarnya dengan radius 90 kilometer dari titik nol dari garis depan untuk melawan dan mendandingi tantang agresi militer yang di dalamnya ada Belanda. Meladeni mereka, bertempur melawan mereka, mati sahid atau merdeka,” katanya.
Maka, spirit resolusi jihad ini kemudian menimbulkan spirit keberanian bela negara, arek-arek Surabaya, dan santri-santri Jawa Timur, yang kemudian membuahkan gelombang arus eroisme, rakyat Jawa Timur serta komunitas santri dan para kiai untuk mealawan penjajah dengan semboyan mati sahid atau merdeka. Karenanya, patut apabila 22 Oktober yang merupakan cikal bakal perlawanan rakyat Jawa Timur atas rencana agresi militer sekutu untuk merebut kembali kemerdekaan RI melalui penaklukan Kota Surabaya. Amarah para santri, kiai, komandan-komandan sabilillah, hisbullah, mujahidin, dan TKR, puncaknya terjadi pada 10 November 1945. Ini merupakan pertempuran rakyat tanpa panglima dengan spirit ketuhanan dan cinta tanah air.
“Karena itu, anak-anakku dengan diresmikannya 22 Oktober sebagai Hari Santri Nasional, bukan personel, tapi ini hari pergerakan sebuah organisasi besar yang mempunyai sejarah tinta emas dalam merebut kemerdekaan dan mempertahankan kemerdekaan RI. Dan, 22 Oktober ini juga disetujui oleh kebanyakan partai-partai politik, ormas-ormas keagamaan, semua setuju,” ujar Kiai Mutawakkil.
“Bagi yang tidak setuju, siapa pun mereka, ingat, santri bagaikan singa yang sedang tidur, jangan diganggu, mati berani mati, tunggang hilang tak hilang, musuh tidak dicari-cari, bersua pantang dihindarkan. Itulah semboyan santri,” lanjutnya.
Memeperingati 22 Oktober, berarti berupaya agar bangsa ini menjadi bangsa yang besar. Sebab, bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai para pahawan dan pejuangnya, mempertahankan kultur, dan budayanya serta ada nasionalisme di dalamnya. Karena itu, siapa pun yang tidak setuju dengan 22 Oktober sebagai HSN, berarti mereka tidak memiliki nasionalisme yang kuat. Berarti mereka menginginkan agar bangsa ini menjadi bangsa yang kerdil dan tidak menghargai para pejuang dan pahlawannya.
Tentunya, kita beharap agar jiwa jihad ini tetap melekat para santri. Baik santri yang masih mondok atau yang sudah pulang kampung. Tapi, bukan jihad dengan mengangkat senjata melawan penjajah, bagi yang di pesantren, jihad dalam artian mujahadah untuk meningkatkan intelektualitas tanpa mengenyampingkan spiritualitas, mempunyai akhlakul karimah, bertekad membangun negeri di semua line, dengan tetap mempunyai karakter dan identits santri. Kedua, sebagai santri harus tetap mempunyai jiwa jihad, jihad untuk mengentas kemiskinan agar rakyat kita hidup dalam kesejahteraan dan keadilan. Agar merasa negera ini sudah merdeka dan memang merdeka. Jihad memberantas kebodohan dengan jihad pendidikan, kita tetap punya semangat jihad anti penjajah, kalau dulu ada agresi militer, penjajah kita sekarang adalah terorisme, radikalisme, liberalisme, komunisme, dan semua ideologi yang bertentangan dengan PB NU, P, pancasila; B, bhinnneka tungal ika; N, NKRI; dan U, UUD 45.   
 “Ke pasar turi mencari makan, warungnya bersih tampak asri. Hari santri telah diresmikan, terima kasih bapak jokowi. Ikan sepat, ikan teri, dan wader jadi satu dalam masakan. Resolusi jihad santri dan 10 november jadi satu dalam ikatan,” ujar Kiai Mutawakkil, menutup amanatnya dengan dua pantun. (ind)

0 komentar:

Posting Komentar